Rabu, 15 Agustus 2012

KEKURANGAN ZAT GIZI PADA TUMBUH KEMBANG BAYI – ANAK



BAB I 
PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG
                     Masa bayi - anak yang masa ini takkan berulang, hanya seumur hidup. Gizi adalah factor lingkungan yang ikut menentukan kualitas tumbuh kembang anak di antaranya energi protein, yang relative singkat, namun  sayrat dengan proses pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Karena sampai  kini masih menjadi masalah dunia hususnya di Negara berkembang seperti Indonesia. apabila makanan tidak cukup mengandung zat gizi yang dibutuhkan, dan keadan ini berkangsung lama, maka akan menyebabkan perubahan metabolisme dalam otak. Hal ini akan berakibat keridakmampuan otak berfugsi secara normal.

  1. RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimana penggunaan energi yang diperlukan pada masa bayi?
2.    Apa fungsi dari protein bagi tubuh anak?
3.    Bagaiamna akibat kekurangan energi dan protein pada bayi?
4.    Bagaiamana dampak dari kekurangan dari zat gizi pada bayi?

  1. TUJUAN
1.    Untuk mengetahui energi yang diperlukan pada masa bayi
2.    untuk mengetahui fungsi protein bagi tubuh bayi
3.    Untuk mengetahui akibat dari kekurangan energi dan protein pada bay
4.    Untuk mengetahui dampak dari kekurangan zat gizi pada anak
     




BAB II
PEMBAHASAN

KEKURANGAN ZAT GIZI PADA TUMBUH KEMBANG BAYI – ANAK

A.   Energi pada masa bayi
            Energi adalah kemampuan tubuh untuk melakukan aktifitas. hubungan degan ilmu gizi adalah kapasitas tubuh mengunakan energi yang terdapat pada zat gizi dengan proses metabolisme makanan.
            Kebutuhan energi untuk bayi adalah dasar penting dari semua kebutuhan zat gizi. Apabila kebutuhan energi dapat terpenuhi dengan diet seimbang, masukan zat gizi lain biasanya dipastikan tidak bermasalah.           ( butte dalam Tsang & Nicholas 1988:86)
a)    Diet seimbang
            Menurut S J Fomon (1974) makanan seimbang untuk bayi disebut (well balanced diet) apabila total energi yang dihasilkan oleh ketiga zat gizi penghasil energi masing – masing memberi kisaran energi sebagai berikut:
-       Lemak        : 30 – 55% dari total energi
-       protein        : 7 – 16% dari total energi
-       karbohidrat : 29 – 63% dari total energi
           missal 100 cc air susu ibu terdapat 67 kkl energi yang merupakan kontribusi dari 1.2 gram protein
b)    Penggunaan energi
        Energi pada masa bayi sangat diperlukan sebagai bagian yang tidak terpisahkan untuk:
1.    Metabolisme Basal
                 Ialah energi yang diperlukan untuk kelangsungan organ tubuh seperti denyut jantung. Sirkulasi darah dan cairan, pernapasan, pengiriman sinyal – sinyal syaraf, kontarksi semua otot, juga untuk mempertahankan suhu tubuh. Aktifitas metabolisme dari semua organ vital diatas secara proporsional akan menunjang kenaikan berat badan bayi.
        Kontribusi energi metabolisme basal untuk otak pada neonatus sangat tinggi yaitu 70% dari total energi metabolisme basal.
2.    Thermick Effect Feeding (TEF)
Ialah energi untuk mengelolah makanan menjadi energi yang disebut Thermick Effect Feeding (TEF) yang memerlukan sekitar 10% dari total penggunaan energi.
3.    Thermo Regulation
         Energi untuk  pengaturan  suhu tubuh sangat pentig untuk adaptasi dengan suhu lingkungan. Pada suhu lingkungan yang dirasa nyaman untuk bayi, kebutuhan oksigen dan energi untuk basal metabolic rate semakin sedikit. Kebutuhan energi untuk mempertahankan suhu badan mejadi normal lebih banyak  pada suhu rendah (Hipotermi) dari pada suhu tinggi. Untuk bayi normal dengab kondisi nyaman, energi untuk thermo regulsation.tidak terlalu diperhitungkan (waterlow dalam tsang & Nichols 1988:6)
4.    Aktifitas Fisik
          Pada bayi usia 6 bulan pertama, pengeluaran energi untuk katifitas fisik relative lebih sedikit. Tidak diperoleh data pasti namun dapat diperkirakan. Dari Rose dan Mayer (1968), diperkirakan pada bayi usia  4 – 6 bulan, 27% dari masukan energi untuk aktifitas fisik. Dan diperkirakan 40% dari pengeluaran energi dipergunakan untuk aktifitas fisik. Aktifitas fisik paling banyak di lakukan pada anak yag berumur 6 bulan ke atas.
5.    Pertumbuhan
                 Energi yang diperlukan untuk pertumbuhan dalam hal ini membentuk  jaringan, di bagi menjadi dua yaitu
a)    Masukan energi yang diperlukan untuk membentuk susunan (komposisi) jaringan sel – sel


b)    Pengeluaran untuk keperluan lain misalnya untuk sitensis.
          Adanya  pertambahan dan pematangan sel pada masa bayi inilah yang membedakan kebutuhan nutrisi dan energi  di banding pada orang dewasa. Puncak pertumbbuhan post natal bayi normal ialah umur  2 – 4 minggu pertama kemudian berlanjut secara pesat untuk beberapa bulan. Rata – rata pertambahan berat badan pada empat bulan pertama sebesar 25 gram/hari. Sintesis lemak sangat diperlukan untuk menghasilkan energi karena pertambahan berat yag pesat pada 4 bulan pertama sangat tergantung dari asupan lemak. 

B.   Protein
              Seperti halnya energi, pertumbuhan pada awal kehidupan membutuhkan protein dengan proporsi yang tepat. Pada periode pesat tumbuh ini kebutuhan akan protein protein lebih diperhitungkan pada unit pertambahan berat badan. Pada rasia spesifik dari protein – energi dalam diet, besarnya konsumsi energi dan protein yag sesuai akan menjamiin pertumbuhan bayi pada masa tumbuh (WHO/Unicef 1981:87)
a)    Fungsi protein
         Ada 4 fungi dari protein yaitu
Ø  Mempercepat porses pembelahan sel – sel otak yang sangat penting untuk perkembangan kecerdasan anak.
Ø  Membentuk antibodi sebagai system kekebalan tubuh
Ø  Menjaga keseimbangan cairan dalam darah
Ø  Mensintesa jaringan yag digunakan untuk membangun dan memperbaiki sel – sel.
                      Fungsi utama protein adalah mensisntesis jaringan untuk membangun (pertumbuhan ) dan memperbaiki sel- sel yang rusak. Pada keadaan tertentu protein dapat menjadi sumber energi. Tiap gram protein mengahasilkan 4 kkal. Protein juga sebagai regulaer pH darah. Peran lain protein juga mengatur keseimbangan cairan dalam darah. Peran penting lain dari protein juga membentuk antibody yang terbentuk dari “Beta lymphocites”. Fungsi spesifik lainnya adalah sintesis vitamin dan pembentukan neutransmiter (Claudia & Lagua 199: 2005)  
b)    Kebutuhan protein
               Kenaikan rata – rata pertumbuhan dan perkembangan bayi dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain protein, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya.
                Dari pengalaman yang ada, bila kebutuhan energi yang terpenuhi oleh air susu atau infant formula yang memenuhi syarat, dengan sendirinya kebutuhan protein akan tercukupi. Namun bila penyajian infant formula lebih encer dari anjuran ataupun bila tidak terkandung protein hewani didalamnya maka akan berakibat definisi protein
      Kebutuhan protein dapat diperhitungkan dengan beberapa cara yaitu:
v  Rasio kalori dan protein (kkal/gram protein)
v  Berdasarkan berat badan dan umur bayi
c)    Kualitas protein
                   Didalam saluran cerna, protein yang terandung dalam makanan akan dipecah oleh enzym – ensym  protease menjadi bentuk dasar yaitu asam amino. Asam amino inilah yang akan diserap ke dalam pembulu darah. dari berbagai macam, asam amino yang dipelukan tidak semua dapat disintesis tubuh sehinga harus didapat dari makanan.
                    Peran utama protein adalah sintesis jaringan untuk pertumbuhan, perbaikan/ penggantian sel yang rusak.agar peran tersebut dapat berlangsung optimal jumah dan kualitas masukan protein dapat t berlangsung optimal jumlah dan kualitas masukan protein sangat menentukan. Kualitas protein  ditentukan oleh jenis dan jumlah asam amino essensial. Kualitas protein akan menentukan kualitas hasil sintesis jaringan / sel.
                  Jumlah dan jenis asam amino dalam makanan yang mengandung protein berfariasi dan berbeda. Terutama pada protein nabati, misalnya beras mengandung rendah lysine, oleh karenanya protein nabati disebut protein kualitas rendah. Namun upaya manusia agar kualitas protein terpenuhi dilakukan dengan cara mencampur beberapa protein nabati agar asam amino esensial saling melengkapi yang disebut protein “komplementer”. Protein nabati disebut protein lengkap karena jumlah dari jenis asam amino esensial yang terkandung di dalamnya lengkap danm cukup. Unntuk anak pada  masa pertumbuhan disarnakan mengkonsumsi protein hewani misalnya susu, telur, daging, ikan, atau daging unggas, agar asam amino esensial yang terkandung dapat menunjang tumbuh kembang anak dengan baik. Dengan bayi yang terus disusui sampai 1 tahun atau lebih adalah cara paling mudah dan praktis untuk mendapatkan masukan protein berkualitas.
d)    Hubungan protein dan energi
              Metabolisme protein dan energi berhubungan sangat erat. Protein tubuh yang terus menerus berganti (protein turnaver ), seperti pada proses sintesis jaringan (fungsi utama protein untuk pertumbuhan ataupun perbaikan dengan kecepatan dan ketepatan luar biasa). Kecepatan proses pergantian dan sintesis protein secara proporsional berbanding terbalik dengan umur. Makin mudah usia, proses sintesis jaringan untuk pertumbuhan atau perbaikan makin pesat.
            Nitrogen adalah protein yang diretensi oleh tubuh yang erat kaitannya dengan energi.





C.   Kekurangan energi dan protein pada masa bayi
                  Evaluasi gizi secara tepat untuk menentukan status gizi adalah mudah. Sesuai dengan kosa katanya bahwa kekurangan energi dan protein pada bayi disebakan oleh masukan energi dan protein yang tidak mencakup kebutuhannya yang disebabkan oleh multi factor yag saling terkait antara lain:
a.    Masukan yag tidak adekuat
b.    Meningkatnya kebutuhan
c.    Menurunnya retensi energi
d.    Meningkatnya energi
Berikut ini adalah penyebab  dari kekurangan energi dan protein yaitu
a)    Marasmus
            Marasmus sering sekali terjadi pada bayi di bawah  usia 12 bulan. Tanda khusus pada marasmus ini ialah kurangnya (bahkan tidak ada) jaringan lemak di bawah kulit, sehingga tampak seperti bayi yang memakai pakaian yag terlalu besar untuk ukurannya. Wajahnya tampak manua (old man / mon key face). Atrofi jaringan, otot lemah terasa kendor / lembek ini dapat dilihat pada paha dan pantat bayi yang sharusnya kuat, kenyal dan tebal. Oedema tidak terjadi, demikain pula warna rambut tidak berubah. Tanda – tanda lainnya seperti tanda spesifik pada definisi mikronutrien yang berhubungan dengan pola diet setempat Bayi dengan marasmus biasanya akan merasa elaparan dan cengeng.
b)    Kwasiokor  kasus 
              kwasiorkor biasanya terjadi pada anak usia 1 – 3 tahun. Pertumbuhan terhambat, jaringa otot lunak dan kendor. Namun jaringan lemak dibawah kulit masih ada disbanding pada bayi marasmus. Ciri – ciri dari kwasiorker  yaitu rambut berubah warna menjadi kemerahan atau abu – abu, menipis dan mudah rontok, apabila rambut kering menjadi lurus. Kulit tampak lebih pucat dan biasanya disertai anemia  ( Cameron & Hvfander 1983:22).
             Dispegmentasi terjadi karena habisnya cadangan energi dan protein. Pada kulit yang terdapat dispegmentasi akan tampak pucat, dermatitis sering terjadi, kulit kulit mudah luka karena tiadanya triptophan, dan nicontinamide. Pada kasus kwasioker berat kulit akan mengeras seperti keripik terutama pada persendian utama. Jelas pada mukosa membrane sering terjadi, bibir           retak- retak.dan avgular sering ditemui. Lidah pun menjadi lunak dan gampang luka. Pada kwasioker, pengaruh terhadap system neurology dijumpai adanya termar seperti Parkinson yang berpengaruh terhadap jarigan atau cabang syaraf tunggal maupun syaraf kelompok pada otot. Seperti otot mata sering terjadi terus berkedip, atau pada pita suara yag menghasilkan suara getar serak / cengeng.
                   Perubahan mental pun terjadi misalnya bayi menjadi cengeng, apatis, hilangnya nafsu makan dan sukar diberi makan. 
c)    Marasmik – kwasiokor
                    Anak bayi yang menderita marasmic – kwasiokor mempunyai gejala (sindroma) gabungan kedua hal di atas. Seorang yang menderita marasmus lalu berlanjut menjadi kwasiokor atau sebalknya terjadi tergantung dari makanan / gizinya dan sejauh mana cadangan energi dari lemak dan protein akan berkurang.
Apabila masukan energi kurang dan cadangan lemak terpakai, bayi / terjatuh menjadi marasmus. Sebaliknya bila cadangan protein dipakai untuk energi gejalah kwasiokor akan muncul.
d)    Susunan syaraf pusat dan kekurangan energi protein
                  Masukan energi dan protein yang tidak mencukupi kebutuhan bayi / anak, akan berdampak terutama pada perkembangna susunan syaraf. Hal ini dapat terjadi sejak di dalam kandungan, lebih – lebih setelah lahir.
                     Menurut Beard (dalam ziagler and filler 1996:615) kekurangan energi dan protein biasanya disertai zat  gizi miko yang sangat berpengaruh terhadapp sel – sel otak dan susunan syaraf pusat.(SSP) atau Central Nervous System (CNS) serta penurunan  jumlah lemak otak (total brain lipid)
        Sastri (1985) melaporkan bahwa menurunya peroksida lemak menyebabkan menurunnya myelin sampai 27%. Diperkirakan terladi penurunan DNA sehingga sel yang harus tumbuh dan terus membela pesat akan lambat prosesnya, pada bayi yang menderia KEP. Dampak dari KEP terhadap SSP/ CNS sangat tersa terutama pada awal pertumbuhan. Terjadinya disfungsi dari neuromuscular adalah tanda dari marasmus  dan kwasiokor yang akan menyebabkan kerusakan motor neuron dan saraf sensor.
e)    Konsekuensi
          Perstiwa penting dalam pertumbuhan sel ialah perpindahan sel myelinasi dan pembentukan sel – sel synap yang paling mudah terkena dampak negatif dengan adanya KEP. Dapak negative tersebut di atas akan mempengaruhi control pergerakan, kapasitas belajar dan fungsi mental.
                  Aspek kognitif seperti perhatian dan kecepatan proses tangkap terhadap dampak KEP meskipun diketahui berapa dalamnya akibat dariKEP pada bayi / anak yang pada derajat tetentu akan menyebabkan berkurangnya fungsi SSP/CNS yang tidak dapat diperbaiki lagi. Hal ini terlihat dari hasil penelitian terhadap 90 orang anak yang pernag menderita KEP, setalah 5 tahun menunjukan deficit IQ. 10 tahun setelah berselang hasilnya bhwa nilai  IQ yang pernah menderita KEP pada umur mudah lebih rendah secara bermakna. Pemeriksaan EEG telah dilakukan dengan hasil: setelah 5 tahun terdapat 30% anak dengan EEG abnormal, pada ulangan 5 tahun kemudian naik menjadi 65%. Dari penelitian tersebut diambil kesimpulan baha KEP dapat mempengaruhi kecerdasan melalui otak.

D.   Dampak kekurangan zat gizi pada anak
                    Pada masa bayi proses pertumbuhan dan perekmbangan terjadi dengan sangat cepat. Menurut husani (1997) apabila makanan tidak cukup mengandung zat gizi yang dibutuhkan, dan keadan ini berkangsung lama, maka akan menyebabkan perubahan metabolisme dalam otak. Hal ini akan berakibat keridakmampuan otak  berfugsi secara normal. Pada keadan yang lebih berat dan kronis, kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan badan terganggu, badan lebih kecil diikuti dengan ukura otak yang juga kecil.jumlah sel dalam otak berkurang dan terjadi ketidak matangan dan ketidak sempurnaan organisasi bikimia otak.
             Pertumbuhan otak sangat terpengaruh apabila  kurang gizi terjadi sejak dalam kandungan, dan berlanjut sampai usia bayi. Pada janin, keadaan kurang gizi akan menyebabkan jumlah sel otak menurun terutama pada cerebrum dan cerebellum diikuti dengan penurunan jumlah protein, glikosida, lemak, dan enzim serta fungsi Neutransmiter yang tidak normal. Keadan kurang energi dan perotein (KEP) yag terjadi pada usia sangat mudah mempengaruhi  perkembangn  fisik dan kecerdasan.
             Kurang gizi berasosiasi dengan keterlambatan perkembangn motorik (Husaini 1997).
             Jaringan otak pada anak yang tumbuh normal sampai 3 tahun akan mencapai 80% berat otak orang dewasa. Apabila sebelum mencapai 3 tahun terjadi kekurangan zat gizi tertentu, dapat menimbulkan kelainan kelainan fisik maupun mental kelainan fisik timbul sebagi akibat pertumbuhan yang terhambat dan kelainan mental timbul sebagai akibat dari perkembangna otak yang terganggu. Perkembangan sel otak dan sel syaraf lainnya masih berlangsung dan berhenti ketika anak berusia 5 tahun.
               Oleh sebab itu periode umur tersebut  anak memerlukan makanan yang cukup megandung zat gizi makro maupun mikro. Bila anak kekurangan zat gizi terutama makan sumber energi dan protein serta zat besi, maka perkembangn fisik dan kemampuan menyerap rangsangan dari luar juga terhambat. Akibat anak lebih lambat beraktifitas dan bereaksi disbanding anak usia sebaya yang tidak kekurangan gizi.
                  Namun melaui stimulasi mental (rangsangan – rangsangan). Kemampuan tersebut lambat laun akan menjadi lebih baik, walau tidak dapat sama dengan anak normal. Pertumbuhan fisik anak yang kekurangan gizi pada masa ini juga lebih rendah dibandign anak normal. Namun setelah pengobatan dan pemberian makanan tambahan pertumbuhan fisiknya dapat mendekati pertumbuhan fisik anak normal. Cacat permanent yang menyertai bila anak pada periode ini kekurangan gizi adalah penurunan tingkat kecerdasan sebanyak sekitar 10 – 13 IQ poin.
















BAB III
PENUTUP.

A.   SIMPULAN
        Masukan energi dan protein yang tidak mencukupi kebutuhan   bayi / anak, akan berdampak terutama pada perkembangn susunan syaraf. Hal ini dapat terjadi sejak di dalam kandungan, lebih – lebih setelah lahir.
         kekurangan energi dan protein biasanya disertai zat  gizi miko yang sangat berpengaruh terhadapp sel – sel otak dan susunan syaraf pusat.(SSP) atau Central Nervous System (CNS) serta penurunan  jumlah lemak otak (total brain lipid).
             Pertumbuhan otak sangat terpengaruh apabila  kurang gizi terjadi sejak dalam kandungan, dan berlanjut sampai usia bayi. Pada janin, keadaan kurang gizi akan menyebabkan jumlah sel otak menurun terutama pada cerebrum dan cerebellum diikuti dengan penurunan jumlah protein, glikosida, lemak, dan enzim serta fungsi Neutransmiter yang tidak normal.

    B. SARAN
                   Orang tua harus selalu memperhatikan asupan makanan yang diberikan kepada anak terutama makanan yang mengadung zat gizi, agar anak tidak menderita berbagai penyakit sehingga otak anak  bisa berfungsi dengan normal.

Selasa, 14 Agustus 2012

IMAN


I.        IMAN: MANUSIA MENJAWAB PANGGILAN ALLAH
Iman adalah ikatan pribadi manusia dengan Allah dan sekaligus, tidak terpisahkan dari itu, persetujuan secara bebas terhadap segala kebenaran yang diwahyuhkan Allah. Sebagai ikatan pribadi manusia dengan Allah, iman Kristen berbeda dengan kepercayaan yang diberikan kepada seorang manusia. Menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan mengimani secara absolute apa yang Ia katakan adalah tepat dan benar.[1] Iman adalah suatu anugerah Allah, satu kebajikan adikodrati yang dicurahkan oleh-Nya. “Supaya orang dapat percaya seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta menolong, pun bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan hati dan membalikannya kepada Allah, membuka mata budi, dan menimbulkan pada semua orang rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran itu”.[2]
Orang yang memperkenalkan diri tentu saja mengharapkan jawaban atau tanggapan yang positif dari pihak yang disapanya. Maka Tuhan sebagai pewahyu yang menyatakan diri kepada manusia, tentunya berharap agar manusia dengan senang dan penuh syukur menerima pewahyuan diri Allah itu dengan menjawabnya dengan penyerahan diri pula kepada Allah pewahyu.[3] Iman adalah sikap kristiani yang mendasar dalam kehidupan kaum beriman, sebagai jawaban penuh kepercayaan terhadap sabda yang diwahyukan oleh Allah.[4] Gereja Katolik mengajarkan bahwa iman ini, yang merupakan awal keselamatan manusia, adalah kebajikan adikodrati dengan kita, yang didorong dan dibantu oleh rahmat Allah dan percaya kepada sesuatu yang diwahyukan oleh Allah sebagai benar, bukan karena kebenaran intrinsiknya yang dapat dimengerti oleh akal budi, melainkan karena kuasa Allah sendiri yang mewahtuhkannya, dan yang tidak dapat ditipu ataupun menipu.
Melalui wahyu-Nya, “Allah yang tidak kelihatan dari kelimpahan cinta-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya, dan bergaul dengan mereka, untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka di dalamnya (DV 2). Jawaban yang pantas untuk undangan itu ialah iman”.[5] Melalui iman manusia menaklukkan seluruh pikiran dan kehendaknya kepada Allah. Dengan segenap pribadinya, manusia menyetujui Allah yang mewahyuhkan Diri. Kitab Suci menamakan jawaban manusia atas undangan Tuhan yang mewahyuhkan Diri itu “Ketaatan Iman”.[6]
Menurut DS 3008, hanya dengan bantuan rahmat dan pertolongan Roh Kudus manusia mampu percaya. Walaupun demikian, iman adalah suatu kegiatan manusiawi yang sebenar-benarnya. Percaya kepada Allah dan menerima kebenearan-kebenaeran yang diwahyuhkan oleh-Nya, tidak bertentangan baik dengan kebebasan maupun pikiran manusia. Dalam hubungan antar manusia pun tidak bertentangan dengan martabat kita, kalau kita percaya apa yang orang lain katakan kepada kita mengenai diri mereka sendiri dan mengenai maksudnya, dan memberi kepercayaan kepada perjanjiannya (umpamanya kalau seorang pria dan wanita kawin) dan dengan demikian masuk dalam persekutuan dengan mereka. Maka dari itu, sama sekali tidak berlawanan dengan martabat kita, “dalam iman memberikan kepada Allah yang mewahyukan diri, ketaatan pikiran dan kehendak secara utuh” dan dengan demikian masuk ke dalam persekutuan yang mesra dengan-Nya.
Dalam iman, akal budi dan kehendak manusia bekerja sama dengan rahmat ilahi: “iman adalah suatu kegiatan akal budi yang menerima kebenaran ilahi atas perintah kehendak yang digerakkan oleh Allah dengan perantaraan rahmat” (Thomas Aquinas., 5. th. 2-2, 2, 9).[7]
Awal iman kristiani, menurut Yohanes terletak dalam pewahyuan oleh Yesus Kristus,  dan pewahyuan sama dengan kebenaran. Awal dalam waktu maupun awal dalam kehadiran ataupun keabadian ialah Yesus Kristus, Sang Sabda. Awal dalam sejarah adalah pewahyuan Yesus Kristus yang menjelma sedangkan awal ahkiki bagi orang Kristen ialah firman dalam persatuan dengan Allah. Dalam Yohanes 22:13 ditegaskan prinsip ini “aku adalah alfa dan omega, yang pertama dan terakhir”. [8] Firman adalah awal, prinsip Kristen, dan iman kita.
Sedangkan manusia sekarang ini mendefenisikan iman adalah suatu pengakuan batin akan hubungan antara Allah dan manusia.[9] Mereka yang percaya bahwa Yesus Kristus adalah Putra Allah dan menjelma menjadi manusia cenderung mengungkapkan akan pengalaman batin. Iman yang sesuai dengan cara agama Kristen. Akan tetapi warisan Kristen inilah yang sering dirasakan manusia modern dengan buta iman yang rabun dan ini sangat tidak menyenangkan.

II.          IMAN MENURUT KITAB SUCI
Untuk mencari tahu arti dan peran iman dalam Kitab Suci, kita tidak bertolak dari kata dan istilah tertentu yang dalam bahasa modern diterjemahkan dengan iman, tetapi dari pertanyaan, bagaimana Kitab Suci mengerti sikap manusia dalam hubungannya dengan Tuhan.[10] Untuk itu ada dua pendekatan guna menjawabi pertanyaan tersebut: pertama, menyelidiki gagasan iman menurut beberapa tradisi teologis dalam Kitab Suci; kedua, dengan melihat beberapa tokoh biblis penting dalam sikap mereka terhadap Tuhan.

1. Iman Dalam Perjanjian Lama
Pada bagian ini para penulis suci menyetujui bahwa iman adalah sesuatu yang radikal, yang pertama untuk persekutuan dengan Allah dalam cinta, “Faith is Personal encounter between man dan God in Full Love”.[11] Artinya iman adalah suatu pertemuan pribadi anata manusia dan Allah dalam cinta yang berlimpah.
Dalam Perjanjian Lama yang memainkan peran penting unutk mengerti sikap manusia terhadap Allah itu adalah kata “aman”, merupakan suatu istilah formal yang  menyatakan bahwa suatu subyek dalam realita sunguh sesuai dengan ciri-ciri khas yang seharusnya ada pada dia.[12] Kalau kata aman (dalam bentuk hifil he’emin) dipakai unutk manusia, maka itu berarti manusia melihat dan mengakui sikap Allah yang setia, yang dapat diandalkan dalam hubungan yang sudah ditetapkan-Nya dengan manusia. Iman dari pihak manusia bisa berarti secara konkret bahwa manusia memuji karya agung Allah, atau mentaati firman dan penetapan, dan menantikan pemenuhan janji, dan sebagainya. He’emindari pihak manusia berarti mengakui Allah sebagai Allah, dan mengakui Dia, menempuh jalan yang ditetapkan-Nya, suatu sikap yang sungguh menyangkut seluruh hidup dan segala tenaga manusia.
Kata aman/he’emin ini diterjemahkan LXX (Septuaginta) dengan pisteuein yang artinya percaya. Istilah ini digunakan dalam Perjanjian Lama untuk membedakan konteks iman dalam teks Ibrani. Dalam tradisi Yunani, terjemahan Ibrani yang dipakai adalah kata amen (dipakai dalam sejarah liturgi kristen purba), mengandung arti firman, sesuatu yang dipercayai; yang memberikan janji. Iman “Amen”, artinya menyatakan “Ya” kepada Allah dan mengakui-Nya sebagai sumber kekuatan (Pengakuan Israel: Allah perisaiku dan bentengku). Teks-teks Perjanjian Lama yang berbicara tentang iman, seperti: Yes. 7:9 “Jika kamu tidak percaya sungguh, kamu tidak teguh berdiri”. Iman sebagai kepercayaan dan komitmen kepda Allah; Yes. 28:16 “Aku percaya, sekalipun aku berkata: aku ini sangat tertindas”; Kej. 15:6 “... Abraham percaya pada Allah dan Allah memperhitungkan hal itu sebagai kebenaran”. Abraham ditetapkan oleh Allah sebagai tokoh iman bagi bangsanya.[13] Jadi dalam Kitab Suci Perjanjian Lama yang paling vokal disoroti adalah iman seperti iman Abraham, iman yang sejati. Kekuatan Abraham terletak pada imannya akan Yahwe, Allah dan Tuhannya. Ciri iman dalam Perjanjian Lama adalah konsekuensinya sangat besar, bahwa yang menyatakan dirinya sebagai hamba Yahwe ia harus setia kepada-Nya. “Jika setia, maka berkat; dan jika tidak setia, maka kutuk”. Hal ini punya kaitan dengan isi perjanjian Allah dengan umat-Nya Israel.
Sikap iman menyangkut seluruh hidup dalam dimensinya, itu berarti mendasarkan seluruh hidup kita pada Yahwe yang dapat diandalkan. Sikap iman mempunyai harapan dalam situasi krisis, kemalangan dan ketidakkeselamatan. Misalnya dalam pembuangan, manusia yang mau mendasarkan hidupnya kepada Yahwe itu, menantikan dan mengharapkan uluran tangan Tuhan untuk merubah situasi dan menciptakan keselamatan.
Cinta kepada Allah menuntut segenap eksistensi manusia dan harus menyata dalam perbuatan dalam menaati petunjuk Allah (bdk. Ul. 6:4-5). Di sini kita bisa katakan bahwa dalam Perjanjian Lama ketiga kebijakan utama itu (iman, harapan dan kasih) tidak dibedakan menurut daya atau bagian dalam diri manusia, tetapi oleh situasi konkret dalamnya manusia itu menghayati hubungannya dengan Tuhan dan selalu melibatkan segenap eksistensi dan segala daya manusia. Sejauh Allah itu sungguh Allah dan dalam keilahian-Nya merupakan dasar yang dapat diandalkan manusia, sikap manusia terhadap Allah itu adalah IMAN. Sejauh Allah itu adalah Allah yang tersembunyi dan manusia dalam pengalaman konkretnya seakan-akan tidak mengalami Allah sebagai dasar, tetapi dalam sikap “namun” tetap mendasarkan diri dalam Tuhan yang dialami sebagai jauh, dan menantikan perubahan pengalaman itu, sikap manusia itu adalah HARAPAN. Sejauh Allah mendekati manusia dalam keintiman yang sebenarnya tidak bisa diharapkan dari Allah terhadap ciptaan-Nya, manusia digugah dalam inti pribadinya untuk mengikuti Allah yang sedemikian dekat, dan sikap itu disebut CINTA.[14]
Iman dalam Perjanjian Lama digambarkan dari berbagai pengalaman sepanjang sejarah, di mana orang Israel mempersiapkan untuk menerima Juruselamat, Al-masih, sang Kristus yang datang untuk menyelamatkan dunia. Persiapan ini berlangsung bukan hanya melalui pengalaman yang menyenangkan tapi juga melalui pengalaman pahit.[15] Pengalaman inilah yang membuat orang Israel dapat memahami bahwa Tuhan itu Penyayang dan Pengasih yang menginginkan damai sejahtera bagi umat-Nya.. pertama-tama iman dalam Perjanjian Lama adalah mendengarkan Sabda Allah.[16] Oleh karena itu, beriman berarti taat dan patuh kepada perintah Allah. Dalam paham Perjanjian Lama Iman berarti kesetiaan dalam melaksanakan kehendak Allah. Dalam iman Perjanjian Lama, iman berarti menaruh percaya pada Janji Allah.

2. Iman Dalam Perjanjian Baru
Iman Perjanjian Lama memuncak dalam diri Maria, hamba Tuhan yang total (Luk. 1:38), menjadi kepercayaan seorang wanita yang kepadanya Allah telah melakukan perbuatan besar, karena Allah itu setia pada janji-Nya (Luk. 1:46-55). Allahnya Yesus bukan Allah baru, melainkan Allahnya janji-janji perjanjian pertama sedemikian rupa sehingga iman manusia Yesus akan Allah, Bapa-Nya, hanya dapat dipahami dengan dilatarbelakangi oleh horison pewartaan Kerajaan yang akan datang. Dalam diri Yesus, pemerintahan Allah yang oleh para nabi dahulu dinubuatkan sebagai akan datang. Dalam umat Israel, iman terikat pada refleksi tentang sejarah, tetapi dalam Perjanjian Kedua iamn dikaitkan pada sejarah sendiri sejauh sejarah itu dipadatkan dalam riwayat hidup Yesus, terutama pada wafat dan kebangkitan-Nya. Itulah sebabnya dalam Perjanjian Baru ajaran tentang Allah berpautan erat dengan Kristologi.

2.1. Mengenal istilah pisteuein[17]
Dalam Perjanjian Baru kata “pisteuein” artinya percaya, sering kali berarti percaya kepada Sabda Allah, mengakui Sabda Allah. Iman diarahkan kepada apa yang ditulis di dalam Torah dan buku para nabi (Kis. 24:14; Luk. 24:25); begitu juga orang mengimani kata-kata Yesus (menurut Injil Yohanes) karena Ia diutus Allah dan mengungkapkan kata-kata Allah (Yoh. 5:38; 3:34).
Mengimani perkataan itu berarti menaatinya secara eksistensial dan sungguh-sungguh hidup menurutnya, sebagaimana jelas dalam Ibrani 11. juga Paulus menekankan sifat ketaatan dalam iman. Iman sebagai kepercayaan itu berarti juga mengandalkan daya Allah untuk mengadakan mujizat (Ibr. 11:17-19). Begitu juga dalam injil-injil sinoptik, iman seringkali berarti orang percaya akan daya Yesus untuk mengadakan mujizat dan dalam iman atau kepercayaan itu mereka disembuhkan. Sesudah peristiwa kebangkitan itu, orang percaya akan daya rasul untuk mengadakan mujizat (Kis. 14:9-10), juga akan daya mengadakan mujizat yang dimiliki setiap orang dalam berdoa (Mrk. 11:22-23; Luk. 17:6; bdk. 1 Kor. 13:2).
Perjanjian Baru juga melihat hubungan erat dan harapan iman akan janji-janji Allah sekaligus merupakan harapan. Iman kristiani sering mengandung sikap “namun”, kita berpegang pada janji Allah, meskipun kenyataan di sekitar kita tidak mendukungnya. Iman kita juga terentang dalam harapan akan suatu kenyataan yang belum dapat dilihat dan dipegang. Iman harus bertahan dalam kesetiaan, karena kesetiaanpun merupakan satu unsur dalam iman (1 Tes 1:4).
Dalam Perjanjian Baru yang menjadi kekhasan iman kristen adalah Yesus Kristus sebagai Tuhan yang telah wafat dan bangkit, dengan kata lain orang kristen mengimani karya keselamatan yang dikerjakan Allah dalam Yesus Kristus. Dengan demikian mereka mengaku yang benar dan menerima karya keselamatan-Nya demi diri mereka.
Iman merupakan jawaban positif atas pewartaan tentang Yesus Kristus sebagai Tuhan (Kurios) dan tentang karya penyelamatan yang dikerjakan Allah dalam diri Yesus Kristus. Iman mempunyai hubungan erat dengan pewartaan misioner gereja dan berarti seorang yang sebelumnya tidak mengenal Yesus serta Allah benar yang mengutusnya, mendengar pewartaan misioner tentang Yesus Kritus itu, menerima pewartaan itu yaitu mengimaninya dan bertobat. Dan iman berdasarkan pewartaan itu (Fides ex Auditu) menciptakan atau memungkinkan suatu hubungan personal dengan Kristus itu sendiri. Dalam iman orang menerima sakramen permandian serta sakramen-sakramen lain dan menjadi anggota tubuh Kristus sendiri, memasuki suatu hubungan yang sangat intim dan intensif dengan Kristus.

2.2. Sinoptik dan Kis Ras
Injil Sinoptik menampilkan Yesus mewartakan kabar gembira Kerajaan Allah yang di ambang pintu. Orang diajaknya supaya bertobat dan percaya kepada Injil (Mrk. 1:5). Tindakan percaya dalam Injil Sinoptik mempunyai arti sebagai berikut. Pertama,  mendengar pada apa yang diwartakan (Mrk. 4:9). Kedua,  mengerti atau memahami apa yang didengar itu (bdk. 13:19), maksudnya menerima pewartaan Sabda secara positif dan melaksanakannya dalam hidup harian (Mrk. 4:20; Luk. 8:21; 11:28). Ketiga, bertobat yang merupakan unsur hakiki dari iman kepercayaan (Mat. 1:15; bdk. 4:17), berbalik kepada Allah secara lahir batin, secara total dengan segenap pribadinya.
Dalam Kisah Para Rasul (kisah tentang awal pewartaan Injil), iman dilukiskan sebagai sikap batin yang menyeluruh, artinya sikap itu melibatkan manusia seluruhnya dan mengarahkan manusia kepada diri Yesus seluruhnya. Maka menurut Kisah Para Rasul iman yang diyakini sebagai anugerah itu merupakan sikap taat dan melekat kepada Yesus Kristus secara total dan mutlak (bdk. Kis. 3:16; 9:42; 11:17; 16:31).
Dalam surat-suratnya Santo Paulus memberikan kesempatan kepad manusia untuk percaya kepada-Nya atau tidak. Dengan percaya kita mengenal misteri Allah dalam Yesus Kristus, baik rencana maupun pelaksanaan penyelamatan manusia yang dilangsungkan Allah dalam penjelmaan, hidup, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus (bdk. 1 Kor. 1:17-2:4; Flp. 2:5-11). “Mengenal” misteri Allah berarti dikaruniai untuk bergaul dengan Allah secara akrab dari hati ke hati sehingga ada persekutuan pikiran dan kehendak antara manusia beriman dengan Allah yang diimaninya itu (Flp. 3:7-11).

2.3.Paulus[18]
Selain sebagai ketaatan, iman bisa digambarkan sebagai keputusan untuk menerima dan melaksanakan warta Injil. Iman yang diterima dalam ketaatan berdasarkan sebuah keputusan akan membentuk suatu keyakinan yang sungguh mendasari seluruh hidup orang beriman. Dengan demikian isi iman adalah: iman akan Yesus Kristas, khususnya wafat dan kebangkitan-Nya, memberi orientasi baru, bagi hidup orang beriman.
Iman yang merupakan rahmat Allah, tidak bisa diperoleh manusia dengan daya sendiri, melainkan harus dikerjakan Roh Allah dalam hati manusia. Bila kita mulai percaya, Allah sudah lebih dahulu memulai proses iman itu dan Dia jugalah yang menyelesaikannya. Sebelum kita mengenal Allah, kita sudah dikenal oleh Allah. Seperti kata St. Alfonsus de Ligouri: “Kita dikenal oleh orang tua dan sanak saudara kita ketika kita dilahirkan, tetapi Allah telah mengenal kita sejak dalam kandungan ibu”. Iman harus dinyatakan di muka umum, harus diakui, dan harus mewarnai seluruh hidup orang beriman. Seluruh hidup orang beriman harus menjadi suatu pernyataan iman, sehingga semua orang (termasuk yang belum mengenal) dapat mengenal Yesus Kristus.
Iman merupaka suatu resiko dalam arti rangkap. Disatu pihak iman merupakan suatu resiko, karena pengakuan akan iman itu bisa menyebabbkan derita bagi orang beriman. Juga iman merupakan suatu resiko, karena iman itu hanya berdasarkan janji dari pihak Allah, kita belum memiliki jaminan pasti bahwa apa yang dijanjikan Allah dalam kebangkitan Yesus Kristus sungguh akan menjadi kenyataan dalam kehidupan kita juga. Sebab itu iman berarti kita mendasarkan seluruh hidup kita atas suatu janji dari pihak Allah, kita mengharapkan bahwa janji itu akan dipenuhi, tetapi kita belum memiliki jaminan yang pasti.
Karena iman belum merupakan suatu kepastian, maka orang percaya adalah orang yang berpengharapan, harapan merupan aspek penting atau pelaksanaan tepat dari iman dalam kondisi zaman ini. Orang beriman masih menantikan penyelesaian yang sempurna dalam Kerajaan Allah kelak. “Kita diselamatkan dalam harapan. tetapi harapan yang sudah dipenuhi bukanlah lagi harapan. bagaimana orang masih akan mengaharap apa yang sudah dipenuhi ? Jika kita mengaharapkan apa yang kita lihat, maka kita akan menantikannya dengan sabar” (Rom 8:24-25). Orang beriman menanti dalam harapan.
“Pembenaran hanya karena iman” inilah tema teologi Paulus berhubungan dengan iman. Dengan bertitik tolak dari istilah “dikaiosune” (keadilan atau kebenaran) merupakan satu istilah sentral dalam soteriologi Paulus. Dikaiosune itu ada pda diri Allah sebagai dikaiosune Allah dan manusia dimasukkan ke dalam dikaiosune Allah itu sedemikian, sehingga manusia menjadi adil atau benar. Allah bertindaka dalam diri Yesus Kristus demi keadilan dan kebenaran manusia dalam peristiwa salib, dan melalui karya keadilan Allah itu, manusia sekaligus dihakimi dan dibenarkan. Ini berarti bahwa di dalam tindakan yang sama Allah memperlihatkan kesalahan manusia dan menerima manusia yang bersyarat itu sebagai anak yang dicintai. Maka karya Allah menyebabkan manusia sungguh menjadi sungguh benar, menjai anak angkat Allah. Keadilan Allah sungguh menghasilkan keadilan manusia. Sebab itu keadilan Allah merupakan gagasan soteriologis, manusia diselamtakan berkat keadilan Allah. Kebenaran mengenai dikaiosune Allah yang membenarkan manusia dirumuskan Paulus secara polemis dalam pertentangan dengan hukum sebagai jalan keselamatan.
Kamu tahu bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan Hukum Taurat, tetapi hanya karena iman dalam Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan karena melakukan Hukum Taurat. Sebab tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan Hukum Taurat (Gal 2:16).
            Sebab itu, Paulus mewartakan “kebenaran Allah karena iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya” (Roma 3:22) dan merumuskan dengan tegas: “kami yakin bahwa manusia dibenarkan karena iman dan bukan karena ia melakukan Hukum Taurat” (Roma 3:28). Dalam ajaran St. Paulus hukum mengandung tuntutan-tuntutan Allah dan kehendak Allah yang nyata dalam hukum harus dilaksanakan oleh manusia. Tuntutan hukum ialah keadilan (dikaiosune), perbuatan dan sikap yang adil. Sebab itu, hukum disebut juga hukum keadilan (Roma 9:31), atau mengenai keadilan bisa dikatakan bahwa itu terjadi dalam hukum (Flp 3:6)
2.4. Yohanes[19]
Dalam surat Yohanes terdapat satu kali (1 Yoh 5:4) Yohanes menggunakan kata benda “iman”  tetapi kata kerja “percaya” sangat sering digunakannya, baik dengan kata depan “eis” (akan) maupun dengan dativus, keduanya dalam arti sama, sehingga percaya akan Yesus yang mewartakan dan percaya Yesus yang diwartakan, disatukan oleh Yohanes. Yang percaya memperoleh keselamatan. Hal ini dinyatakan melalui berbagai rumusan: orang beriman memiliki hidup (11:25), ia sudah beralih dari kematian ke pada kehidupan, ia tidak dihukum (5:24) dan sebagainya. Dalam pernyataan ini terkandung arti, bahwa hanya iman yang memperoleh keselamatan (bdk 8:24). Yohanes memperjuangkan pengertian yang benar mengenai keselamtan itu sendiri. Keselamtan itu umumnya disebut “hidup” (dengan kata Yunani zoe). Yohanes mau memperlihatkan, bahwa apa yang disebut hidup oleh dunia, sebenarnya bukan hidup, hanya merupakan suatu hidup semu.
Dunia berada dalam keadaan dusta, dan karena Yesus menyatakan kebenaran, maka dunia tidak percaya (8:45-46). Perkataan Yesus bersifat gelap bagi dunia dan baru menjadi jelas bagi orang yang percaya yang meninggalkan cara berpikiran cara menilai dari dunia (10:6;16:25-29). Maka iman menuntut agar orang meninggalkan “dunia”. Dalam iman manusia harus beralih kepada yang kelihatan (20:29).
Iman dipahami sebagai berada di dalam hati, dan tidak ada seorangpun yang tahu kecuali oleh Tuhan sendiri. Bisa jadi seseorang yang perkataan yang tidak baik, jorok, tidak sopan, tetapi hatinya baik. Begitu pula orang yang perbuatan dan prilaku yang tidak baik bisa jadi hatinya tetap baik[20] Ini memperlihatkan bahwa perbuatan itu tidak berpengaruh terhadap hati dan sebaliknya, keadaan hati tidak berpengaruh terhadap perbuatan, karena masing-masingnya tidak ada sumbangan sama sekali.
Akan tetapi secara terminologis (istilah), kata “iman” terdapat dalam sebuah “Sabda Nabi” yang artinya: kesatuan, keselarasan dan keserasian antara kata hati, ucapan dan perbuatan.[21] Di sini iman dimaksudkan sebagai sikap hati, dan bukan hanya sebagai keyakinan dalam hati. Dengan sikap hati itu manusia mempercayakan dirinya dengan sebulat-bulatnya kepada Tuhan, mengandalkan Tuhan dengan sepenuh-penuhnya. Dalam arti ini iman searti dengan penyerahan diri.[22] Dengan penyerahan dimaksud seluruh hidupnya (hati, ucapan dan perbuatan) sesuai dengan bimbingan imannya.
Dalam hubungan manusia dengan Tuhan dapat dikatakan bahwa iman merupakan jawaban manusia atas pewahyuan Allah. Secara umum agama-agama mengakui bahwa Allah telah mewahyuhkan diri-Nya kepada manusia. Justru karena telah mewahyuhkan diri-Nyalah, maka Tuhan dari tidak dikenal menjadi dikenal dan dapat disembah oleh manusia.[23] Di sini dapat dipahami bahwa pewahyuan Allah tentang diri-Nya dan cinta kasih-Nya kepada manusia perlu dijawab atau ditanggapi oleh manusia. Tanggapan atau jawaban ini merupakan ungkapan cinta dari manusia kepada Tuhan yang telah lebih dahulu mencintai kita.
Iman tidak dapat dilihat pertama-tama sebagai hasil usaha manusia, melainkan inisiatif dari Allah sendiri. Wahyu yang disampaikan kepada manusia membuka dan menggerakkan hati manusia untuk menerimanya, mengakui dan mengimaninya. Dalam iman orang meninggalkan dunia dusta, meninggalkan ukuran dan cara menilai yang lama.[24] Maka iman meresapi seluruh hidup sebagaimana jelas dalam ajaran Yesus untuk “tinggal”. Orang beriman harus tinggal di dalam Yesus atau di dalam firman-Nya (1 Yoh. 8:32). Iman mengahasilkan pengetahuan tentang kebenaran dan sebaliknya. Iman membawa kepad pengetahuan dan pengetahuan yang sudah diperoleh mengahantar lebih dalam ke dalam iman (1 Yoh. 16:30; 17:8).


III.       IMAN MENURUT PARA BAPA GEREJA[25]
Para Bapa Apostolik
Ada dua pandangan pemahaman para Bapa Apstolik (90-165) tentang iman. Yang pertama, mereka menekankan sikap taat kepada hukum Ilahi sehingga terdapat nuansa etis yang kuat. Hubunngan dengan Kristus terungkap bukan hanya dalam pandangan bahwa Dialah pemberi hukum, melainkan juga bersatunya orang beriman dengan Kristus secara personal-pneumatis. Yang kedua, iman terarah kepada kebahagiaan eskatologis: iman dan harapan bersatu padu. Orang mendapat pelajaran iman untuk memperoleh gnôsis yang dalam tradisi St. Paulus diartikan sebagai penyampaian rahasia eskatologis.

Para Apologet Yunani
Para apologet Yunani menghadapkan iman kristiani pada budaya Hellenis yang sezamannya, lalu berusaha mempertanggungjawabkan iman kristiani di hadapan budaya Hellenis. Para apoleget mengambil alih pandangan filsafat Yunani bahwa Allah demi kodrat-Nya tidak berubah-ubah. Sehingga sulitlah bagi mereka untuk memahami secara teologis tindakan Allah dalam sejarah.
Jasa para apologet yaitu dengan berurat beraakr dalam Tradisai Yunani, adalah berhasil menemukan bagi Allah alkitabiah yang bertindak itu Zat yang berhakekat. Sejak itu setiap pernyataan tentang “Nan Ilahi” berada dalam sistem koordinat karena di satu pihak pemikiran Yunani bersifat epifani (baginya apa yang adi-duniawi dan transenden itu menjadi tampak), dan di pihak lain pengharapan alkitabiah berdasarkan tindakan dan janji Allah yang membuktikan diri sebagai terpercaya. Jasa para apologet juga menunjukan bahwa selayaknya manusia sebagai makluk berbudi itu percaya akan wahyu biblis tentang kebangkitan badan, nubut para nabi, dan kedudukan serta peranan Kristus sebagai Sabda Allah.

Paham Iman dalam Pustaka Anti Bidaah Ireneus dan Tertullianus
Keduanya ini mengembangkan paham iman secara ekonomi keselamatan
a.      Ireneus dari Lyon (Paroan kedua dari abad II)
Ireneus mengembangkan iman dalam konfrontasi dengan gnosis yang heterodoks. Dalam pengetahuan akan Allah dan paham iman kepercayaan, gnotisisme mengemukakan ajarannya dengan semau-maunya. Sehingga Ireneus melawan ajaran ini dengan mengembangkan pandangannya tentang tradisi kegerejaan sebagai kriteria untuk iman kepercayan. Secara apologetis, Ireneus berhasil mengembangkan ajaran tentang ekonomi keselamatan dalam dua arah yakni menyusun teologi logos Pewahyu dan mendasarkan iman pada wahyu Allah dalam sejarah. Iman akan Allah dan Kristus dijadikan postulan untuk menerangkan sejarah dunia. Ireneus mengakui bahwa sejarah keselamatan merupakan conditio sine qua non  bagi pewarta kristiani. Dalam ajaran tentang ekonomi keselamatan, para apologetis dan antignosis melengkapkan dengan ajaran tentang pengetahuan akan Allah berdasarkan alam ciptaan.
Menurut Ireneus, kosmoteologi ini bukanlah teodisea mandiri yang menghantar dari bawah ke atas, melainkan selalu bertolak dari wahyu biblis. Ireneus mengaitkan iman Kristiani dengan wahyu alkitabiah yang nampak dalam tiga hal berikut: pertama, iman kepercayaan diartikan sebagai mengikuti Kristus, meneyrahkan diri kepada-Nya. Kedua, iman Abraham sebagai contoh dalam karya Ireneus. Dan yang ketiga, tindakan logos sebgaai pewahyu merupakan theologoumenon yang terpenting.
b.      Tertulianus (160-220)
Tertulianus merupakan apologet Afrika yang terkenal. Menurutnya secara adikodrati ada dua hal pendasaran iman: pertama,  ajaran tentang “pedoman iman” (regula fidei), yakni syahadat yang merumuskan isi iman kristiani secara singkat-padat berdasarkan alkitabiah sebagaimana ditafsirkan oleh Tradisi. Kedua, ajaran tentang karya Roh Kudus yang bersifat mengilhami dan menggerakkan dalam Gereja. Selain itu juga Tertulianus berpendapat bahwa ada dua jalan kodrati untuk sampai kepada iman: kosmoteologi dan kesaksian jiwa. Ia menegaskan bahwa pengetahuan kodrati akan Allah hanya dapat mencapai kepenuhannya berkat iman kepercayaan dalam arti ketat yang terarah kepada tindakan Allah dalam sejarah keselamatan, terutama dalam Yesus Kristus.
Paham iman dalam perguruan Alexandria, khususnya dalam teologi Klemens dan Origenes
a.      Klemens dari Alexandria (140/150-216)
Menurut Klemens, percaya berarti mendengar pada logos, dimana logos itu dipandang sebagai lanjutan dari dabar YHWH dalam sejarah keselamatan. Allah dikenal bukan dikenal oleh pembuktian ilmu pengetahuan, melainkan oleh rahmat sabdanya yang Pewahyu. Klemens menyatakan bahwa sifata hakiki iman kepercayaan adalah keputusan bebas, praduga (yang berakar pada kodrat manusia), dan persetujuan. Iman terarah kepada gnosis. Pengenalan akan Allah merupakan sifat memandang atau menatap nan Ilahi. Tatapan (theôria) ini, dimungkin karena logos telah menjelma menjadi manusia sehingga disamping kedengaran juga kelihatan.

b.      Origenes (254)
Menurut Origenes, iman kepercayyaan adalah sabda Kitab Suci yang menyapa kita dalam melawan gnostis anatara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Origenes menegaskan bahwa daba Allah Perjanjian Lama sama dengan logos Perjanjian Baru, dan Sabda Allah alkitabiah ini pun dipersatukannya dengan logos filsafat Hellenis. Perlu diketahui bahwa dengan meyakini sosok logos sebagai berurat berakar dalam dinamika dari kedua perjanjian ini, maka Origenes meyakini sifat logos sebagai penyerah. Dalam hal ini logos sebagai yang turun dari surga yang dapat dimakan sama artinya dengan karunia yang diberikan kepad kita untuk menatapnya. Contoh peristiwa di gunung Tabor, dimana Petrus, Yakobus dan Yohanes, memandang Yesus dalam kemuliaan-Nya. Dari contoh ini Origenes mau mengatakan kepada kita bahwa di dunia ini pun kita sudah dapat memandang Tuhan dalam doksa, dalam kemuliaan-Nya, apabila iman kepercayaan dialami dan ditingkatkan sampai pada taraf penglihatan mistik.
Origenes memandang iman sebagai sumber iman kepercayaan adalah satu-satunya adalah Kitab Suci yang menyapa kita. Klemens dari Alexandria iman berarti mendengar kepada logos dimana logos itu dipandang sebagai lanjutan dari dabar YHWH dalam sejarah keselamatan. Paham iman Agustinus ditentukan oleh hubungan dengan kewibahan (auctoritas) di satu pihak dan tatapan Allah ataupun Kristus (visio dei christi).
Ketiga Pujangga dari Kappadokia (Basilius agung, Gregorius Agung dari Naziane, dan Gregorius Agung dari Nyssa)
Mereka bermaksud mentransposisikan iman Kristiani ke dalam alam pikiran Yunani, sehingga ajaran rohani mereka secara seimbang bersesuaian dengan dasar iman yakni sabda pewartaan. Penekanan bukan logos, tetapi Kristus-eikôn, gambar Allah Bapa. Kemudian diarahkan kepada kontemplasi dan mistik. Namun mistik kristiani di satu pihak berkaitan erat dengan misteri (sakramen babtis dan ekaristi), namun di lain pihak sama derajatnya dengan mistik filosofi.
Gregorius dari Nyssa mengembangkan teologi eikôn, teologi gambar untuk menunjukkan Kristologi dan antropoligi teologi. Manusia diciptakan menurut gambar Allah (imago dei) (Kej. 1:26-27), bagi Gregorius, dengan mengenal diri sendiri mensuia dimungkinkan untuk mengenal Allah, sebab ketika diciptakan, Allah menempatkan ciri corak-Nya dalam batin manusia. Dengan mengenal gambar saja kit akan mengenal Dia yang digambarkan. Jiwa manusia juga dapat memandang Allah. Manusia tidak bisa menatap logos secara langsung tetapi harus cermin jiwa.
Menurut St. Agustinus hati manusia adalah oragan pengenalan akan Allah. Hati yang dimurnikan melalui askesis, iman kepercayaan dan cinta kasih itu dapat mengenal Allah. Paham iman ditentukan oleh kewibawaan (Auctoritas) dan dengan tatapan Allah atau Kristus (Fisio Dei [Christi]). Auctoritas merupakan kesatuan dari alkitab dan gereja sebagai pedoman iman (regula Fidei) dipadatkan dalam syahadat. Dalam Mat. 7:7, bagi Agustinus, jiwa kristiani diajak untuk maju dari iman kerpercayaan kepada tatapan (yang kontemplatif). Program teologi “percaya untuk mengerti” (Creedo ut Intellegam) menjadi program yang dari auctoritas menuju illuminatio (penerangan batin oleh Roh Kudus), sehingga secara intuisi manusia dapat memandang Allah yang transenden. Dari komponen iman di atas, Agustinus membuat distingsi “Sabda lahir” dan “Sabda batin” untuk menjelaskan illuminasi apada waktu membaca alkitab. Mula-mula Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, para Nabi dan para Rasul harus dimengerti sebagai “Sabda lahir”, namun ketika dipelajari dan ditafsirkan akan ditemukan maknanya yang terdalam dan tersembunyi, itulah “Sabda batin” bagi mereka yang mengerti dengan baik Sabda itu. Hal ini didorong oleh cinta kasih.
3.2 Iman dan Pembenaran[26]
1. Thomas Aquinas tentang Iman
Iman menurut Thomas adalah asentire primae veritati (menyetujui kebenaran pertama) maka jelas bahwa baginya iman mempunyai suatu aksen intelektual, merupakan suatu tindakan yang dilakukan intelek manusia. Sehingga bagi Thomas iman merupakan suatu persetujuan akal budi manusia kepad kebenaran pertama / ilahi. Tetapi tindakan intelek saja tidak cukup, akal budi harus digerakkan oleh kehendak supaya ia setuju. Dengan demikian, oleh adanya unsur kehendak dalam aktus iman, maka kebebasan iman terjamin. Unsur intellectus dan voluntas harus bergabung dalam aktus iman, ini bisa kita lihat dalam penjelasannya tentang definisi iman sebagai cum assensione cogitare (mempertimbangkan dengan persetujuan) yang diambilnya dari Agustinus. Mengenai definisi itu Thomas mengatakan: It ideo assensus hic accipitur pro actu intellectus secundum quod a voluntate determinatur ad unum (maka dalam definisi ini persetujuan dimengerti sebagai tindakan akal budi, sejauh akal budi didorong untuk itu oleh kehendak).
Bagi Thomas, suatu aktus manusia hanya bisa berkenan pada Allah, bisa merupakan actus neritorius, kalau aktus itu berasal dari kehendak bebas yang digerakkan oleh rahmat Allah, maka iman yang membenarkan harus merupakan aktus semacam itu: Ipsum autem credere est actus intellectus assentientis veritati divinae ex imperio voluntatis a Deo motae per gratiam (Ada pun percaya merupakan suatu tindakan akal budi yang menyetujui kebenaran ilahi oleh karena perintah kehendak yang digerakkan Allah melalui rahmat).
Dalam teologi skolastik, tindakan kehendak yang efektif itu umumnya disebut caritas, cinta kasih. Maka Thomas mengatakan: supaya iman menjadi suatu actus meritorium, iman itu harus dibarengi cinta. Cinta iotu disebut forma fidei, sehingga teologi skolastik berbicara mengenai fides caritate firmata. Iman yang dibentuk cinta itu merupakan iman yang membenarkan.
1.      Luther tentang Iman yang Membenarkan
Luther menekankan bahwa pembenaran itu duhadiahkan oleh Allah kepada manusia. Menurut Luther manusia diselamatkan ileh iman, bukan oleh perbuatan kita. Di sini Luther mau meninjolkan, bahwa Allah sendiri membenarkan secara gratis, tanpa menuntut pahala manusia terlebih dahulu. Allah bertindak aktif di dalam pembenaran, sedangkan manusia harus tingal pasif, karena manusia tidak bisa menyelamatkan diri, kita diselamatkan sola fide, hanya karena iman akan Allah yang berkarya dalam Yesus Kristus untuk kita.
Luther mengeritik, bahwwa dalam prakter Gereja dan dalam teologi tentang iman, iamn dan perbuatan dicampuradukan dan karena itu Injil tentang pembenaran yang diberikan Allah secara gratis karena Yesus Kristus telah ditinggalkan dan dihianati. Dengan alasan itu Luther menolak fides caritate formata harus diganti dengan sola fide. Karena, kalau iman baru membenarkan kalau dibarengi dengan cinta, maka perbuatan manusia (ialah cinta) yang menyelamatkan dan perbuatan manusia itu menyingkirkan jasa Yesus Kristus.
Luther harus menolak formula skolastik itu, karena ia menafsirkan dengan mengerti caritas sebagai usaha untuk mencintai sesama dan melakukan karya amal. Sedangkan dalam teologi skolastik, formula fides caritate formata mau mengatakan: Allah yang mengundang dan menggerakkan manusia untuk bertobat, tidak hanya menggerakkan akal budi, tetapi juga kehendak manusia. Dengan kata lain pertobatan dan pembenaran menyangkut mansia seutuhnya. Di sini Luther tidak mengerti konteks dan arti yang sebenarnya dari forma fides caritate formata. Ia mengerti cinta sebagai karya manusia, sehingga ia harus menolak formula tadi sebagai suatu penjelasan tentang iman yang pembenaran yang mengaburkan sifat hadiah dari pembenaran dan menjadikan pembenaran suatu hasil perbuatan manusia.
Luther mengerti iman sebagai suatu sikap eksistensial yang menyangkut seluruh manusia dan tenaganya. Menurutnya, iman dalah manusia menerima pengadilan dan pembenaran Allah atas dirinya dan melindungi di dalam belas kasih Allah yang nyata dalam Yesus Kristus. Maka jelas, bahwa atas dasar pengertian demikiann tentang iman, formula sols fide sama luas artinya seperti fides caritate formata dalam teologi skolastik.
2.      Pembenaran dan Iman menurut Konsili Trente
Dekrit tentang pembenaran yang disahkan oleh Konsisli Trente pada 13 Januari 1547, dimaksudkan sebagai penolakan posisi reformasi dan sekalgus sebagai penjelasan tentang pembenaran dan peran iman di dalamnya.
Trente menegaskan, bahwa pembenaran sungguh-sungguh merupakan karya Allah demi keselamatan manusia. Tetapi konsili tidak menerima kesimpulan bahwa manusia sama sekali pasif dan tidak turut serta dalam proses pembenaran, karena pembenaran itu dikerjakan oleh Allah. Konsili Trente berpendapat, bahwa manusia juga terlibat secara aktif, karena ia menerima hadia dari Allah secara bebas, yang bisa juga menolaknya.
Persiapan dalam diri manusia yang dikerjakan Allah dan yang perlu demi pembenaran, digambarkan Konsili Trente sebagai berikut:
Orang dewasa disiapkan bagi kebenaran / keadilan itu atas cara berikut: Dengan dibangkitkan dan dibantu oleh rahmat ilahi, mereka menerima iman dari pendengaran (bdk Rm 10:17) dan dengan demikian mereka secara bebas diangkat kepada Allah, sambil percaya sebagai benar apa yang diwahyukan dan dijanjikan Allah, terutama bahwa orang berdosa dibenarkan oleh rahmat Allah karena penebusan dalam Kristus Yesus (Rm 3:24). Selanjutnya, kalau mereka mengerti bahwa mereka berdosa dan merasa digoyahkan oleh rasa ketakutan sehat terhadap keadilan Allah, mereka akan mengingat belas kasih Allah dan akan didorong kepada harapan penuh kepercayan bahwa Allah akan mengasihani mereka demi Kristus. Dengan demikian, mereka akan mulai mencintai Dia sebagai sumber segala keadilan dan melawan dosa dengan rasa benci dan jijik, artinya dalam pertobatan yang dilakukan sebelum permandian; akhirnya mereka berniat menerima pembabtisan, melalui suatu hidup baru dan mentati perintah-perintah Ilahi (ND 1930).
                Dalam pengertian mengenai iman, Konsili kurangt lebih kembali kepada teologi skolastik yang agak kuat mengerti iman sebagai persetujuan intelek kepada kebenaran-kebenaran yang diwahyukan. Iman itu perlu dengan pembenaran, tetapi iman itu tidak cukup, pembenaran tidak terjadi sola fide, melainkan iman harus dilengkapi denghan harapan dan cinta. Dalam bab 7 dari dekrit itu:
Iman tanpa harapan dan cinta tidak mempersatukan manusia secara sempurna dengan Kristus dan tidak membuat orang menjadi anggota hidup pada tubuh-Nya. Karena benar apa yang ditulis: Iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak. 2:17) dan tak berguna, dan bagi orang-orang yang berada dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih (Gal. 5:6). Inilah iman yang seturut tradisi apostolik diminta oleh para calon babtis dari Gereja sebelum mereka menerima sakramen baptisan, jika mereka meminta iman yang memberikan hidup abadi, karena hidup abadi tidak bisa diberikan oleh iman tanpa harapan dan kasih (ND 1934).
                Dalam bab 8, Konsili menegaskan bahwa iman sungguh bersifat fundamental, supaya mansia dibenarkan dan bahwa kebenaran itu bersifat gratis, tidak menuntut jasa apapun dari manusia, sehingga jelas bahwa harapan dan kasih tidak ditafsirkan sebagai perbuatan manusia, yang harus dilakukan manusia dahulu supaya Allah berkenan untuk membenarkan mereka.
Sang rasul mengatakan bahwa manusia dibenarkan oleh iman dan dengan cuma-cuma (Rm. 3:22.24). Kata-kata ini harus dimengerti secara tepat sebagaimana dipertahankan dan dijelaskan oleh Gereja Katolik dengan sebulat hati. Mereka mengatakan: Kita dibenarkan oleh iman, karena iman merupakan awal keselamatan bagi manusia, dasar dan akar setiap pembenaran; tanpa iman tak seorangpun bisa berkenan kepada Allah (Ibr. 11:6) dan masuk kedalam persekutuan putera-putera-Nya.

Mereka mengatakan: Dibenarkan dengan Cuma-Cuma karena tida sesuatupun yang mendahului pembenaran-entah iman, entah perbuatan-memperoleh rahmat pembenaran. Karena ia diberikan sebagai rahmat, maka ia tidak diberikan berdasarkan perbuatan, kalau tidak demikian, maka sebagaimana dikatakan oleh rasul yang sama: Rahmat bukan rahmat lagi (Rm. 11:16) (ND 1935).

1V. PAHAM IMAN PADA ABAD XIX DAN XX
1. Iman Dalam Konsili Vatikan I[27]
Iman dalam Konsili Vatikan I lebgih menekankan suatu hubungan antara iman dan akal budi. Tetapi di satu pihak terdapat suatu penyimpangan rasionalisme (teologi) yang secara eksklusif memperhatikan akal dan kodrad, sambil mengesampingkan iman yang adikodrati. Rasionalisme adalah kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan oleh akal budi (ratio) dapat menangkapnya sebagai benar.
Ajaran Konsili Vatikan I dapat dikupas disekitar butir-butir berikut
Ø  Kewajiban: Iman sebagai kewajiban, kita wajib percaya kepada Allah yang mewahyukan diri-Nya sebagai pencipta dan Tuhan. Dasar kewajiban itu terletak dari kenyatan bahwa manusia sepenuhnya bergantung kepada Allah.
Ø  Kepatuhan akal budi dan kehendak: Konsili Vatikan I menekankan bahwa baik akal budi maupun kehendak manusia ikut memainkan peranan dalam iman kepercayaan kepada Allah, patuh kepada-Nya dengan tahu dan mau.
Orang beriman harus atas dasar Allah dan Gereja, menerima sebagai nbenar ajaran-ajaran yang kebenarannya tidak dapat. [28] Konsili Vatikan II berusaha menemukan suatu jalan yang menghargai peran akal budi manusia tetapi juga memperlihatkan perlunya wahyu atas alamia yang harus diterima dalam iman.[29]
2. Iman Dalam Konsili Vatikan II
1. Penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah secara bebas.
            Iman adalah sebagai tindakan penyerahan pribadi manusia seluruhnya kepada Allah secara bebas. Istilah alkitabiah “ketaatan iman” (Rm. 16:26), diartikan oleh Konsili Vatikan II secara persnal sebagai jawaban bebas dari pihak manusia dan dengan demikian menanggapi anugerah wahyu dari pihak Allah.
2. Obyek Iman Kepercayaan Yaitu Allah Sendiri
            Obyek iman adalah Allah sendiri sebagai pewahyu bukan kebenaran-kebenaran. Jadi yang pertama-tama yang dipercayai ialah Allah yang berbicara, Allah yang mewahyukan. Pribadi Allah yang pertama-tama diimani manusia dalam sikap penyerahan diri yang total kepada Dia.
3. Iman Itui Anugerah
            Iman sebagai pertemuan personal dengan Allah. Itu merupakan anugerah Allah kepada manusia “supaya iman itu ada” perlu uluran tangan dan bantuan rahmat Allah serta pertolongan batin dalam Roh Kudus.


[1] Katekismus Gereja KAtolik, art. 150.
[2] DV, art. 5.
[3] Cr. Niko Syukur Dister, OFM, “Pengantar Teologi”, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hal. 127.
[4] Avery Dulles, SJ, “Model of Relevantion”, diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Georg Kirchberger SVD, “Model-Model Wahyu”, (Ende: Nusa Indah, 1994), hal. 14.
[5] P. Herman Embuiru, SVD (Penerj.) Katekismus Gereja Katolik, (Ende: Nusa Indah, 1995), art. 142, hal. 72. Selanjutnya ditulis judul dan artikelnya saja.
[6] Katekismus Gereja Katolik, art. 143.
[7] Katekismus Gereja Katolik, art. 155. Bdk. juga Konsili Vatikan I: DS 3010.
[8] Guido Tisera, SVD, “Firman Telah Menjadi Manusia”, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hl. 17
[9] John Powel, S.J, “Beriman Untuk Hidup Beriman Untuk Mati”, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hal. 55.
[10] Georg Kirchberger, Teologi Iman Perspektif Kristen, (Maumere: Ledalero, 2002), hal. 10
[11] Karl H. Peschke, Christian Ethics Moral Theology in the Lighat of Vatican II, 2, (Bangalore: Theological Publication, 1996), hal. 28.
[12] Georg Kirchberger, Loc. Cit.
[13] B. S. Mardiarmadja, Beriman Dengan Tanggung Jawab, (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hal. 138
[14] Georg Kirchberger, Ibid., hal. 12.
[15] Dr. Niko Syukur Dister, OFM. Op. Cit.,  hal. 110
[16] Ibid., hal. 69
[17] Georg Kirchberger, Op. Cit., hal. 13
[18] Ibid., hal. 15
[19] Georg Kirchberger, Ibid., hal. 24
[20] Antonius Atosokhi Gea, Noor Racmat, Antonia Panca Yuni Wulansari, Relasi Dengan Tuhan, (Jakarta: PT Elex Mediakomputindo, 2004), hal. 64. 
[21] Loc. Cit.
[22] Dr. C. Groenen, OFM dan Stefen Leks, Percakapan Tentang Alkitab, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 7-8
[23] Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat, Antonia Panca Yuni Wulandari, Op. Cit., hal. 65
[24] Georg Kirchberger, Op. Cit., hal. 24
[25] Teologi Sistematika 1 – 2, Op. Cit., hal. 79
[26] Georg Kirchberger, Op. Cit., hal. 35
[27] Pengantar Teologi, Op. Cit., hal. 136
[28] George Kirchberger. Op. Cit., hal. 46
[29] Ibid., hal. 45