I.
IMAN: MANUSIA MENJAWAB PANGGILAN ALLAH
Iman adalah ikatan pribadi manusia dengan Allah dan sekaligus, tidak
terpisahkan dari itu, persetujuan secara bebas terhadap segala kebenaran yang
diwahyuhkan Allah. Sebagai ikatan pribadi manusia dengan Allah, iman Kristen
berbeda dengan kepercayaan yang diberikan kepada seorang manusia. Menyerahkan
diri sepenuhnya kepada Allah, dan mengimani secara absolute apa yang Ia katakan
adalah tepat dan benar.
Iman adalah suatu anugerah Allah, satu kebajikan adikodrati yang dicurahkan
oleh-Nya. “Supaya orang dapat percaya seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang
mendahului serta menolong, pun bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan hati
dan membalikannya kepada Allah, membuka mata budi, dan menimbulkan pada semua
orang rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran itu”.
Orang yang memperkenalkan diri tentu saja mengharapkan jawaban atau
tanggapan yang positif dari pihak yang disapanya. Maka Tuhan sebagai pewahyu
yang menyatakan diri kepada manusia, tentunya berharap agar manusia dengan
senang dan penuh syukur menerima pewahyuan diri Allah itu dengan menjawabnya
dengan penyerahan diri pula kepada Allah pewahyu.
Iman adalah sikap kristiani yang mendasar dalam kehidupan kaum beriman, sebagai
jawaban penuh kepercayaan terhadap sabda yang diwahyukan oleh Allah.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa iman ini, yang merupakan awal keselamatan
manusia, adalah kebajikan adikodrati dengan kita, yang didorong dan dibantu
oleh rahmat Allah dan percaya kepada sesuatu yang diwahyukan oleh Allah sebagai
benar, bukan karena kebenaran intrinsiknya yang dapat dimengerti oleh akal
budi, melainkan karena kuasa Allah sendiri yang mewahtuhkannya, dan yang tidak
dapat ditipu ataupun menipu.
Melalui
wahyu-Nya, “Allah yang
tidak kelihatan dari kelimpahan cinta-Nya menyapa manusia sebagai
sahabat-sahabat-Nya, dan bergaul dengan mereka, untuk mengundang mereka ke
dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka di dalamnya (DV 2).
Jawaban yang pantas untuk undangan itu ialah iman”.
Melalui iman manusia menaklukkan seluruh pikiran dan kehendaknya kepada Allah.
Dengan segenap pribadinya, manusia menyetujui Allah yang mewahyuhkan Diri.
Kitab Suci menamakan jawaban manusia atas undangan Tuhan yang mewahyuhkan Diri
itu
“Ketaatan Iman”.
Menurut DS 3008, hanya dengan bantuan rahmat dan pertolongan Roh Kudus
manusia mampu percaya. Walaupun demikian, iman adalah suatu kegiatan manusiawi
yang sebenar-benarnya. Percaya kepada Allah dan menerima kebenearan-kebenaeran
yang diwahyuhkan oleh-Nya, tidak bertentangan baik dengan kebebasan maupun
pikiran manusia. Dalam hubungan antar manusia pun tidak bertentangan dengan
martabat kita, kalau kita percaya apa yang orang lain katakan kepada kita
mengenai diri mereka sendiri dan mengenai maksudnya, dan memberi kepercayaan
kepada perjanjiannya (umpamanya kalau seorang pria dan wanita kawin) dan dengan
demikian masuk dalam persekutuan dengan mereka. Maka dari itu, sama sekali
tidak berlawanan dengan martabat kita, “dalam iman memberikan kepada Allah yang
mewahyukan diri, ketaatan pikiran dan kehendak secara utuh” dan dengan demikian
masuk ke dalam persekutuan yang mesra dengan-Nya.
Dalam iman, akal budi dan kehendak manusia bekerja sama dengan rahmat
ilahi: “iman adalah suatu kegiatan akal budi yang menerima kebenaran ilahi atas
perintah kehendak yang digerakkan oleh Allah dengan perantaraan rahmat” (Thomas
Aquinas., 5. th. 2-2, 2, 9).
Awal iman kristiani, menurut Yohanes terletak dalam pewahyuan oleh Yesus
Kristus,
dan pewahyuan sama dengan
kebenaran. Awal dalam waktu maupun awal dalam kehadiran ataupun keabadian ialah
Yesus Kristus, Sang Sabda. Awal dalam sejarah adalah pewahyuan Yesus Kristus
yang menjelma sedangkan awal ahkiki bagi orang Kristen ialah firman dalam
persatuan dengan Allah. Dalam Yohanes 22:13 ditegaskan prinsip ini
“aku adalah alfa dan omega, yang pertama
dan terakhir”. Firman adalah awal, prinsip Kristen,
dan iman kita.
Sedangkan manusia sekarang ini mendefenisikan iman adalah suatu pengakuan
batin akan hubungan antara Allah dan manusia.
Mereka yang percaya bahwa Yesus Kristus adalah Putra Allah dan menjelma menjadi
manusia cenderung mengungkapkan akan pengalaman batin. Iman yang sesuai dengan
cara agama Kristen. Akan tetapi warisan Kristen inilah yang sering dirasakan
manusia modern dengan buta iman yang rabun dan ini sangat tidak menyenangkan.
II.
IMAN MENURUT
KITAB SUCI
Untuk mencari tahu arti dan peran iman dalam Kitab Suci, kita tidak
bertolak dari kata dan istilah tertentu yang dalam bahasa modern diterjemahkan
dengan iman, tetapi dari pertanyaan, bagaimana Kitab Suci mengerti sikap manusia
dalam hubungannya dengan Tuhan.
Untuk itu ada dua pendekatan guna menjawabi pertanyaan tersebut:
pertama, menyelidiki gagasan iman
menurut beberapa tradisi teologis dalam Kitab Suci;
kedua, dengan melihat beberapa tokoh biblis penting dalam sikap
mereka terhadap Tuhan.
1. Iman Dalam Perjanjian Lama
Pada bagian ini para penulis suci menyetujui bahwa iman adalah sesuatu
yang radikal, yang pertama untuk persekutuan dengan Allah dalam cinta,
“Faith is Personal encounter between man dan
God in Full Love”. Artinya iman adalah suatu pertemuan
pribadi anata manusia dan Allah dalam cinta yang berlimpah.
Dalam Perjanjian Lama yang memainkan peran penting unutk mengerti sikap
manusia terhadap Allah itu adalah kata
“aman”,
merupakan suatu istilah formal yang
menyatakan bahwa suatu subyek dalam realita sunguh sesuai dengan
ciri-ciri khas yang seharusnya ada pada dia.
Kalau kata
aman (dalam bentuk hifil
he’emin) dipakai unutk manusia, maka itu
berarti manusia melihat dan mengakui sikap Allah yang setia, yang dapat
diandalkan dalam hubungan yang sudah ditetapkan-Nya dengan manusia. Iman dari
pihak manusia bisa berarti secara konkret bahwa manusia memuji karya agung
Allah, atau mentaati firman dan penetapan, dan menantikan pemenuhan janji, dan
sebagainya.
He’emindari pihak manusia
berarti mengakui Allah sebagai Allah, dan mengakui Dia, menempuh jalan yang
ditetapkan-Nya, suatu sikap yang sungguh menyangkut seluruh hidup dan segala
tenaga manusia.
Kata
aman/he’emin ini diterjemahkan
LXX (Septuaginta) dengan
pisteuein yang
artinya percaya. Istilah ini digunakan dalam Perjanjian Lama untuk membedakan
konteks iman dalam teks Ibrani. Dalam tradisi Yunani, terjemahan Ibrani yang
dipakai adalah kata
amen (dipakai
dalam sejarah liturgi kristen purba), mengandung arti firman, sesuatu yang
dipercayai; yang memberikan janji. Iman
“Amen”,
artinya menyatakan “Ya” kepada Allah dan mengakui-Nya sebagai sumber
kekuatan (Pengakuan Israel: Allah perisaiku dan bentengku). Teks-teks
Perjanjian Lama yang berbicara tentang iman, seperti: Yes. 7:9 “Jika kamu tidak
percaya sungguh, kamu tidak teguh berdiri”. Iman sebagai kepercayaan dan
komitmen kepda Allah; Yes. 28:16 “Aku percaya, sekalipun aku berkata: aku ini
sangat tertindas”; Kej. 15:6 “... Abraham percaya pada Allah dan Allah
memperhitungkan hal itu sebagai kebenaran”. Abraham ditetapkan oleh Allah
sebagai tokoh iman bagi bangsanya.
Jadi dalam Kitab Suci Perjanjian Lama yang paling vokal disoroti adalah iman
seperti iman Abraham, iman yang sejati. Kekuatan Abraham terletak pada imannya
akan Yahwe, Allah dan Tuhannya. Ciri iman dalam Perjanjian Lama adalah
konsekuensinya sangat besar, bahwa yang menyatakan dirinya sebagai hamba Yahwe
ia harus setia kepada-Nya. “Jika setia, maka berkat; dan jika tidak setia, maka
kutuk”. Hal ini punya kaitan dengan isi perjanjian Allah dengan umat-Nya
Israel.
Sikap iman menyangkut seluruh hidup dalam dimensinya, itu berarti
mendasarkan seluruh hidup kita pada Yahwe yang dapat diandalkan. Sikap iman
mempunyai harapan dalam situasi krisis, kemalangan dan ketidakkeselamatan.
Misalnya dalam pembuangan, manusia yang mau mendasarkan hidupnya kepada Yahwe
itu, menantikan dan mengharapkan uluran tangan Tuhan untuk merubah situasi dan
menciptakan keselamatan.
Cinta kepada Allah menuntut segenap eksistensi manusia dan harus menyata
dalam perbuatan dalam menaati petunjuk Allah (bdk. Ul. 6:4-5). Di sini kita
bisa katakan bahwa dalam Perjanjian Lama ketiga kebijakan utama itu (iman,
harapan dan kasih) tidak dibedakan menurut daya atau bagian dalam diri manusia,
tetapi oleh situasi konkret dalamnya manusia itu menghayati hubungannya dengan
Tuhan dan selalu melibatkan segenap eksistensi dan segala daya manusia. Sejauh
Allah itu sungguh Allah dan dalam keilahian-Nya merupakan dasar yang dapat
diandalkan manusia, sikap manusia terhadap Allah itu adalah
IMAN. Sejauh Allah itu adalah Allah
yang tersembunyi dan manusia dalam pengalaman konkretnya seakan-akan tidak
mengalami Allah sebagai dasar, tetapi dalam sikap “namun” tetap mendasarkan
diri dalam Tuhan yang dialami sebagai jauh, dan menantikan perubahan pengalaman
itu, sikap manusia itu adalah
HARAPAN. Sejauh
Allah mendekati manusia dalam keintiman yang sebenarnya tidak bisa diharapkan
dari Allah terhadap ciptaan-Nya, manusia digugah dalam inti pribadinya untuk
mengikuti Allah yang sedemikian dekat, dan sikap itu disebut
CINTA.
Iman dalam Perjanjian Lama digambarkan dari berbagai pengalaman sepanjang
sejarah, di mana orang Israel mempersiapkan untuk menerima Juruselamat,
Al-masih, sang Kristus yang datang untuk menyelamatkan dunia. Persiapan ini
berlangsung bukan hanya melalui pengalaman yang menyenangkan tapi juga melalui
pengalaman pahit.
Pengalaman inilah yang membuat orang Israel dapat memahami bahwa Tuhan itu
Penyayang dan Pengasih yang menginginkan damai sejahtera bagi umat-Nya..
pertama-tama iman dalam Perjanjian Lama adalah mendengarkan Sabda Allah.
Oleh karena itu, beriman berarti taat dan patuh kepada perintah Allah. Dalam
paham Perjanjian Lama Iman berarti kesetiaan dalam melaksanakan kehendak Allah.
Dalam iman Perjanjian Lama, iman berarti menaruh percaya pada Janji Allah.
2. Iman Dalam Perjanjian Baru
Iman Perjanjian Lama memuncak dalam diri Maria, hamba Tuhan yang total
(Luk. 1:38), menjadi kepercayaan seorang wanita yang kepadanya Allah telah
melakukan perbuatan besar, karena Allah itu setia pada janji-Nya (Luk.
1:46-55). Allahnya Yesus bukan Allah baru, melainkan Allahnya janji-janji
perjanjian pertama sedemikian rupa sehingga iman manusia Yesus akan Allah,
Bapa-Nya, hanya dapat dipahami dengan dilatarbelakangi oleh horison pewartaan
Kerajaan yang akan datang. Dalam diri Yesus, pemerintahan Allah yang oleh para
nabi dahulu dinubuatkan sebagai akan datang. Dalam umat Israel, iman terikat
pada refleksi tentang sejarah, tetapi dalam Perjanjian Kedua iamn dikaitkan
pada sejarah sendiri sejauh sejarah itu dipadatkan dalam riwayat hidup Yesus,
terutama pada wafat dan kebangkitan-Nya. Itulah sebabnya dalam Perjanjian Baru
ajaran tentang Allah berpautan erat dengan Kristologi.
2.1. Mengenal istilah pisteuein
Dalam Perjanjian Baru kata “pisteuein”
artinya percaya, sering kali berarti percaya
kepada Sabda Allah, mengakui Sabda Allah. Iman diarahkan kepada apa yang
ditulis di dalam Torah dan buku para nabi (Kis. 24:14; Luk. 24:25); begitu juga
orang mengimani kata-kata Yesus (menurut Injil Yohanes) karena Ia diutus Allah
dan mengungkapkan kata-kata Allah (Yoh. 5:38; 3:34).
Mengimani perkataan itu berarti menaatinya
secara eksistensial dan sungguh-sungguh hidup menurutnya, sebagaimana jelas
dalam Ibrani 11. juga Paulus menekankan sifat ketaatan dalam iman. Iman sebagai
kepercayaan itu berarti juga mengandalkan daya Allah untuk mengadakan mujizat
(Ibr. 11:17-19). Begitu juga dalam injil-injil sinoptik, iman seringkali
berarti orang percaya akan daya Yesus untuk mengadakan mujizat dan dalam iman
atau kepercayaan itu mereka disembuhkan. Sesudah peristiwa kebangkitan itu,
orang percaya akan daya rasul untuk mengadakan mujizat (Kis. 14:9-10), juga
akan daya mengadakan mujizat yang dimiliki setiap orang dalam berdoa (Mrk.
11:22-23; Luk. 17:6; bdk. 1 Kor. 13:2).
Perjanjian Baru juga melihat hubungan erat dan harapan iman akan
janji-janji Allah sekaligus merupakan harapan. Iman kristiani sering mengandung
sikap “namun”, kita berpegang pada janji Allah, meskipun kenyataan di sekitar
kita tidak mendukungnya. Iman kita juga terentang dalam harapan akan suatu
kenyataan yang belum dapat dilihat dan dipegang. Iman harus bertahan dalam kesetiaan, karena kesetiaanpun merupakan
satu unsur dalam iman (1 Tes 1:4).
Dalam Perjanjian Baru yang menjadi kekhasan iman kristen adalah Yesus
Kristus sebagai Tuhan yang telah wafat dan bangkit, dengan kata lain orang
kristen mengimani karya keselamatan yang dikerjakan Allah dalam Yesus Kristus.
Dengan demikian mereka mengaku yang benar dan menerima karya keselamatan-Nya
demi diri mereka.
Iman merupakan jawaban positif atas pewartaan tentang Yesus Kristus
sebagai Tuhan (Kurios) dan tentang
karya penyelamatan yang dikerjakan Allah dalam diri Yesus Kristus. Iman mempunyai
hubungan erat dengan pewartaan misioner gereja dan berarti seorang yang
sebelumnya tidak mengenal Yesus serta Allah benar yang mengutusnya, mendengar
pewartaan misioner tentang Yesus Kritus itu, menerima pewartaan itu yaitu
mengimaninya dan bertobat. Dan iman berdasarkan pewartaan itu (Fides ex Auditu) menciptakan atau
memungkinkan suatu hubungan personal dengan Kristus itu sendiri. Dalam iman
orang menerima sakramen permandian serta sakramen-sakramen lain dan menjadi
anggota tubuh Kristus sendiri, memasuki suatu hubungan yang sangat intim dan
intensif dengan Kristus.
2.2. Sinoptik dan Kis Ras
Injil Sinoptik menampilkan
Yesus mewartakan kabar gembira Kerajaan Allah yang di ambang pintu. Orang
diajaknya supaya bertobat dan percaya
kepada Injil (Mrk. 1:5). Tindakan percaya dalam Injil Sinoptik mempunyai
arti sebagai berikut. Pertama, mendengar
pada apa yang diwartakan (Mrk. 4:9). Kedua,
mengerti
atau memahami apa yang didengar itu (bdk. 13:19), maksudnya menerima
pewartaan Sabda secara positif dan melaksanakannya dalam hidup harian (Mrk.
4:20; Luk. 8:21; 11:28). Ketiga, bertobat yang merupakan unsur hakiki
dari iman kepercayaan (Mat. 1:15; bdk. 4:17), berbalik kepada Allah secara
lahir batin, secara total dengan segenap pribadinya.
Dalam Kisah Para Rasul (kisah
tentang awal pewartaan Injil), iman dilukiskan sebagai sikap batin yang
menyeluruh, artinya sikap itu melibatkan manusia seluruhnya dan mengarahkan
manusia kepada diri Yesus seluruhnya. Maka menurut Kisah Para Rasul iman yang
diyakini sebagai anugerah itu merupakan sikap taat dan melekat kepada Yesus Kristus secara total dan mutlak (bdk.
Kis. 3:16; 9:42; 11:17; 16:31).
Dalam surat-suratnya Santo Paulus memberikan
kesempatan kepad manusia untuk percaya kepada-Nya atau tidak. Dengan percaya
kita mengenal misteri Allah dalam Yesus
Kristus, baik rencana maupun pelaksanaan penyelamatan manusia yang
dilangsungkan Allah dalam penjelmaan, hidup, wafat dan kebangkitan Yesus
Kristus (bdk. 1 Kor. 1:17-2:4; Flp. 2:5-11). “Mengenal” misteri Allah berarti
dikaruniai untuk bergaul dengan Allah secara akrab dari hati ke hati sehingga
ada persekutuan pikiran dan kehendak antara manusia beriman dengan Allah yang
diimaninya itu (Flp. 3:7-11).
Selain sebagai ketaatan, iman bisa digambarkan sebagai keputusan untuk menerima dan
melaksanakan warta Injil. Iman yang diterima dalam ketaatan berdasarkan sebuah
keputusan akan membentuk suatu keyakinan yang
sungguh mendasari seluruh hidup orang beriman. Dengan demikian isi iman adalah:
iman akan Yesus Kristas, khususnya wafat dan kebangkitan-Nya, memberi orientasi
baru, bagi hidup orang beriman.
Iman yang merupakan rahmat Allah, tidak
bisa diperoleh manusia dengan daya sendiri, melainkan harus dikerjakan Roh
Allah dalam hati manusia. Bila kita mulai percaya, Allah sudah lebih dahulu
memulai proses iman itu dan Dia jugalah yang menyelesaikannya. Sebelum kita
mengenal Allah, kita sudah dikenal oleh Allah. Seperti kata St. Alfonsus de
Ligouri: “Kita dikenal oleh orang tua
dan sanak saudara kita ketika kita dilahirkan, tetapi Allah telah mengenal kita
sejak dalam kandungan ibu”. Iman harus dinyatakan di muka umum, harus
diakui, dan harus mewarnai seluruh hidup orang beriman. Seluruh hidup orang
beriman harus menjadi suatu pernyataan iman, sehingga semua orang (termasuk
yang belum mengenal) dapat mengenal Yesus Kristus.
Iman merupaka suatu resiko dalam
arti rangkap. Disatu pihak iman merupakan suatu resiko, karena pengakuan akan
iman itu bisa menyebabbkan derita bagi orang beriman. Juga iman merupakan suatu
resiko, karena iman itu hanya berdasarkan janji dari pihak Allah, kita belum
memiliki jaminan pasti bahwa apa yang dijanjikan Allah dalam kebangkitan Yesus
Kristus sungguh akan menjadi kenyataan dalam kehidupan kita juga. Sebab itu
iman berarti kita mendasarkan seluruh hidup kita atas suatu janji dari pihak
Allah, kita mengharapkan bahwa janji itu akan dipenuhi, tetapi kita belum
memiliki jaminan yang pasti.
Karena iman belum merupakan suatu kepastian, maka orang percaya adalah
orang yang berpengharapan, harapan merupan
aspek penting atau pelaksanaan tepat dari iman dalam kondisi zaman ini. Orang
beriman masih menantikan penyelesaian yang sempurna dalam Kerajaan Allah kelak.
“Kita diselamatkan dalam harapan. tetapi harapan yang sudah dipenuhi bukanlah
lagi harapan. bagaimana orang masih akan mengaharap apa yang sudah dipenuhi ?
Jika kita mengaharapkan apa yang kita lihat, maka kita akan menantikannya
dengan sabar” (Rom 8:24-25). Orang beriman menanti dalam harapan.
“Pembenaran hanya karena iman” inilah
tema teologi Paulus berhubungan dengan iman. Dengan bertitik tolak dari istilah
“dikaiosune” (keadilan atau
kebenaran) merupakan satu istilah sentral dalam soteriologi Paulus. Dikaiosune itu ada pda diri Allah
sebagai dikaiosune Allah dan manusia
dimasukkan ke dalam dikaiosune Allah
itu sedemikian, sehingga manusia menjadi adil atau benar. Allah bertindaka
dalam diri Yesus Kristus demi keadilan dan kebenaran manusia dalam peristiwa
salib, dan melalui karya keadilan Allah itu, manusia sekaligus dihakimi dan
dibenarkan. Ini berarti bahwa di dalam tindakan yang sama Allah memperlihatkan
kesalahan manusia dan menerima manusia yang bersyarat itu sebagai anak yang
dicintai. Maka karya Allah menyebabkan manusia sungguh menjadi sungguh benar,
menjai anak angkat Allah. Keadilan Allah sungguh menghasilkan keadilan manusia.
Sebab itu keadilan Allah merupakan gagasan soteriologis, manusia diselamtakan
berkat keadilan Allah. Kebenaran mengenai dikaiosune
Allah yang membenarkan manusia dirumuskan Paulus secara polemis dalam pertentangan dengan hukum sebagai jalan
keselamatan.
Kamu
tahu bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan Hukum Taurat,
tetapi hanya karena iman dalam Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh
karena iman dalam Kristus dan bukan karena melakukan Hukum Taurat. Sebab tidak
seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan Hukum Taurat (Gal 2:16).
Sebab itu, Paulus mewartakan
“kebenaran Allah karena iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya”
(Roma 3:22) dan merumuskan dengan tegas: “kami yakin bahwa manusia dibenarkan
karena iman dan bukan karena ia melakukan Hukum Taurat” (Roma 3:28). Dalam
ajaran St. Paulus hukum mengandung tuntutan-tuntutan Allah dan kehendak Allah
yang nyata dalam hukum harus dilaksanakan oleh manusia. Tuntutan hukum ialah keadilan
(dikaiosune), perbuatan dan sikap
yang adil. Sebab itu, hukum disebut juga hukum keadilan (Roma 9:31), atau
mengenai keadilan bisa dikatakan bahwa itu terjadi dalam hukum (Flp 3:6)
Dalam surat Yohanes terdapat satu kali (1 Yoh 5:4) Yohanes menggunakan
kata benda “iman” tetapi kata kerja
“percaya” sangat sering digunakannya, baik dengan kata depan “eis” (akan) maupun dengan dativus,
keduanya dalam arti sama, sehingga percaya akan Yesus yang mewartakan dan
percaya Yesus yang diwartakan, disatukan oleh Yohanes. Yang percaya memperoleh
keselamatan. Hal ini dinyatakan melalui berbagai rumusan: orang beriman
memiliki hidup (11:25), ia sudah beralih dari kematian ke pada kehidupan, ia
tidak dihukum (5:24) dan sebagainya. Dalam pernyataan ini terkandung arti,
bahwa hanya iman yang memperoleh keselamatan (bdk 8:24). Yohanes memperjuangkan
pengertian yang benar mengenai keselamtan itu sendiri. Keselamtan itu umumnya
disebut “hidup” (dengan kata Yunani zoe).
Yohanes mau memperlihatkan, bahwa apa yang disebut hidup oleh dunia, sebenarnya
bukan hidup, hanya merupakan suatu hidup semu.
Dunia berada dalam keadaan dusta, dan karena Yesus menyatakan kebenaran,
maka dunia tidak percaya (8:45-46). Perkataan Yesus bersifat gelap bagi dunia
dan baru menjadi jelas bagi orang yang percaya yang meninggalkan cara
berpikiran cara menilai dari dunia (10:6;16:25-29). Maka iman menuntut agar
orang meninggalkan “dunia”. Dalam iman manusia harus beralih kepada yang
kelihatan (20:29).
Iman dipahami sebagai berada di dalam hati, dan tidak ada seorangpun yang
tahu kecuali oleh Tuhan sendiri. Bisa jadi seseorang yang perkataan yang tidak
baik, jorok, tidak sopan, tetapi hatinya baik. Begitu pula orang yang perbuatan
dan prilaku yang tidak baik bisa jadi hatinya tetap baik
Ini memperlihatkan bahwa perbuatan itu tidak berpengaruh terhadap hati dan
sebaliknya, keadaan hati tidak berpengaruh terhadap perbuatan, karena
masing-masingnya tidak ada sumbangan sama sekali.
Akan tetapi secara terminologis (istilah), kata “iman” terdapat dalam
sebuah “Sabda Nabi” yang artinya: kesatuan, keselarasan dan keserasian antara
kata hati, ucapan dan perbuatan.
Di sini iman dimaksudkan sebagai sikap hati, dan bukan hanya sebagai keyakinan
dalam hati. Dengan sikap hati itu manusia mempercayakan dirinya dengan
sebulat-bulatnya kepada Tuhan, mengandalkan Tuhan dengan sepenuh-penuhnya.
Dalam arti ini iman searti dengan penyerahan diri.
Dengan penyerahan dimaksud seluruh hidupnya (hati, ucapan dan perbuatan) sesuai
dengan bimbingan imannya.
Dalam hubungan manusia dengan Tuhan dapat dikatakan bahwa iman merupakan
jawaban manusia atas pewahyuan Allah. Secara umum agama-agama mengakui bahwa
Allah telah mewahyuhkan diri-Nya kepada manusia. Justru karena telah
mewahyuhkan diri-Nyalah, maka Tuhan dari tidak dikenal menjadi dikenal dan
dapat disembah oleh manusia.
Di sini dapat dipahami bahwa pewahyuan Allah tentang diri-Nya dan cinta
kasih-Nya kepada manusia perlu dijawab atau ditanggapi oleh manusia. Tanggapan
atau jawaban ini merupakan ungkapan cinta dari manusia kepada Tuhan yang telah
lebih dahulu mencintai kita.
Iman tidak dapat dilihat pertama-tama sebagai hasil usaha manusia,
melainkan inisiatif dari Allah sendiri. Wahyu yang disampaikan kepada manusia
membuka dan menggerakkan hati manusia untuk menerimanya, mengakui dan
mengimaninya. Dalam iman orang meninggalkan dunia dusta, meninggalkan ukuran
dan cara menilai yang lama.
Maka iman meresapi seluruh hidup sebagaimana jelas dalam ajaran Yesus untuk
“tinggal”. Orang beriman harus tinggal di dalam Yesus atau di dalam firman-Nya
(1 Yoh. 8:32). Iman mengahasilkan pengetahuan tentang kebenaran dan sebaliknya.
Iman membawa kepad pengetahuan dan pengetahuan yang sudah diperoleh mengahantar
lebih dalam ke dalam iman (1 Yoh. 16:30; 17:8).
III. IMAN MENURUT PARA BAPA GEREJA
Para Bapa Apostolik
Ada dua pandangan pemahaman para Bapa Apstolik (90-165) tentang iman.
Yang pertama, mereka menekankan sikap taat kepada hukum Ilahi sehingga terdapat
nuansa etis yang kuat. Hubunngan dengan Kristus terungkap bukan hanya dalam
pandangan bahwa Dialah pemberi hukum, melainkan juga bersatunya orang beriman
dengan Kristus secara personal-pneumatis. Yang kedua, iman terarah kepada
kebahagiaan eskatologis: iman dan harapan bersatu padu. Orang mendapat
pelajaran iman untuk memperoleh gnôsis yang dalam tradisi St.
Paulus diartikan sebagai penyampaian rahasia eskatologis.
Para Apologet Yunani
Para apologet Yunani menghadapkan iman kristiani pada budaya Hellenis
yang sezamannya, lalu berusaha mempertanggungjawabkan iman kristiani di hadapan
budaya Hellenis. Para apoleget mengambil alih pandangan filsafat Yunani bahwa
Allah demi kodrat-Nya tidak berubah-ubah. Sehingga sulitlah bagi mereka untuk
memahami secara teologis tindakan Allah dalam sejarah.
Jasa para apologet yaitu dengan berurat beraakr dalam Tradisai Yunani,
adalah berhasil menemukan bagi Allah alkitabiah yang bertindak itu Zat yang
berhakekat. Sejak itu setiap pernyataan tentang “Nan Ilahi” berada dalam sistem
koordinat karena di satu pihak pemikiran Yunani bersifat epifani (baginya apa
yang adi-duniawi dan transenden itu menjadi tampak), dan di pihak lain
pengharapan alkitabiah berdasarkan tindakan dan janji Allah yang membuktikan
diri sebagai terpercaya. Jasa para apologet juga menunjukan bahwa selayaknya
manusia sebagai makluk berbudi itu percaya akan wahyu biblis tentang
kebangkitan badan, nubut para nabi, dan kedudukan serta peranan Kristus sebagai
Sabda Allah.
Paham Iman dalam Pustaka Anti Bidaah
Ireneus dan Tertullianus
Keduanya ini mengembangkan paham iman secara ekonomi keselamatan
a. Ireneus dari Lyon (Paroan kedua dari abad
II)
Ireneus mengembangkan iman dalam konfrontasi dengan gnosis yang
heterodoks. Dalam pengetahuan akan Allah dan paham iman kepercayaan, gnotisisme
mengemukakan ajarannya dengan semau-maunya. Sehingga Ireneus melawan ajaran ini
dengan mengembangkan pandangannya tentang tradisi kegerejaan sebagai kriteria
untuk iman kepercayan. Secara apologetis, Ireneus berhasil mengembangkan ajaran
tentang ekonomi keselamatan dalam dua arah yakni menyusun teologi logos Pewahyu dan mendasarkan iman pada
wahyu Allah dalam sejarah. Iman akan Allah dan Kristus dijadikan postulan untuk
menerangkan sejarah dunia. Ireneus mengakui bahwa sejarah keselamatan merupakan
conditio sine qua non bagi pewarta kristiani. Dalam ajaran tentang
ekonomi keselamatan, para apologetis dan antignosis melengkapkan dengan ajaran
tentang pengetahuan akan Allah berdasarkan alam ciptaan.
Menurut Ireneus, kosmoteologi ini bukanlah teodisea mandiri yang
menghantar dari bawah ke atas, melainkan selalu bertolak dari wahyu biblis.
Ireneus mengaitkan iman Kristiani dengan wahyu alkitabiah yang nampak dalam
tiga hal berikut: pertama, iman
kepercayaan diartikan sebagai mengikuti Kristus, meneyrahkan diri kepada-Nya. Kedua, iman Abraham sebagai contoh dalam
karya Ireneus. Dan yang ketiga, tindakan
logos sebgaai pewahyu merupakan theologoumenon
yang terpenting.
b. Tertulianus (160-220)
Tertulianus merupakan apologet Afrika yang terkenal. Menurutnya secara
adikodrati ada dua hal pendasaran iman: pertama,
ajaran tentang “pedoman iman” (regula fidei),
yakni syahadat yang merumuskan isi iman kristiani secara singkat-padat
berdasarkan alkitabiah sebagaimana ditafsirkan oleh Tradisi. Kedua, ajaran tentang karya Roh Kudus
yang bersifat mengilhami dan menggerakkan dalam Gereja. Selain itu juga
Tertulianus berpendapat bahwa ada dua jalan kodrati untuk sampai kepada iman:
kosmoteologi dan kesaksian jiwa. Ia menegaskan bahwa pengetahuan kodrati akan
Allah hanya dapat mencapai kepenuhannya berkat iman kepercayaan dalam arti ketat
yang terarah kepada tindakan Allah dalam sejarah keselamatan, terutama dalam
Yesus Kristus.
Paham iman dalam perguruan Alexandria,
khususnya dalam teologi Klemens dan Origenes
a. Klemens dari Alexandria (140/150-216)
Menurut Klemens, percaya berarti mendengar pada logos, dimana logos itu
dipandang sebagai lanjutan dari dabar YHWH dalam sejarah keselamatan. Allah
dikenal bukan dikenal oleh pembuktian ilmu pengetahuan, melainkan oleh rahmat sabdanya
yang Pewahyu. Klemens menyatakan bahwa sifata hakiki iman kepercayaan adalah
keputusan bebas, praduga (yang berakar pada kodrat manusia), dan persetujuan.
Iman terarah kepada gnosis. Pengenalan akan Allah merupakan sifat memandang
atau menatap nan Ilahi. Tatapan (theôria)
ini, dimungkin karena logos telah menjelma menjadi manusia sehingga disamping
kedengaran juga kelihatan.
b. Origenes (254)
Menurut Origenes, iman kepercayyaan adalah sabda Kitab Suci yang menyapa
kita dalam melawan gnostis anatara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Origenes
menegaskan bahwa daba Allah Perjanjian Lama sama dengan logos Perjanjian Baru,
dan Sabda Allah alkitabiah ini pun dipersatukannya dengan logos filsafat
Hellenis. Perlu diketahui bahwa dengan meyakini sosok logos sebagai berurat
berakar dalam dinamika dari kedua perjanjian ini, maka Origenes meyakini sifat
logos sebagai penyerah. Dalam hal ini logos sebagai yang turun dari surga yang
dapat dimakan sama artinya dengan karunia yang diberikan kepad kita untuk
menatapnya. Contoh peristiwa di gunung Tabor, dimana Petrus, Yakobus dan Yohanes,
memandang Yesus dalam kemuliaan-Nya. Dari contoh ini Origenes mau mengatakan
kepada kita bahwa di dunia ini pun kita sudah dapat memandang Tuhan dalam
doksa, dalam kemuliaan-Nya, apabila iman kepercayaan dialami dan ditingkatkan
sampai pada taraf penglihatan mistik.
Origenes memandang iman sebagai sumber iman kepercayaan adalah
satu-satunya adalah Kitab Suci yang menyapa kita. Klemens dari Alexandria iman
berarti mendengar kepada logos dimana logos itu dipandang sebagai lanjutan dari
dabar YHWH dalam sejarah keselamatan. Paham iman Agustinus ditentukan oleh
hubungan dengan kewibahan (auctoritas) di satu pihak dan tatapan Allah ataupun
Kristus (visio dei christi).
Ketiga Pujangga dari Kappadokia (Basilius
agung, Gregorius Agung dari Naziane, dan Gregorius Agung dari Nyssa)
Mereka bermaksud mentransposisikan iman Kristiani ke dalam alam pikiran
Yunani, sehingga ajaran rohani mereka secara seimbang bersesuaian dengan dasar
iman yakni sabda pewartaan. Penekanan bukan logos,
tetapi Kristus-eikôn,
gambar Allah Bapa. Kemudian diarahkan kepada kontemplasi dan mistik.
Namun mistik kristiani di satu pihak berkaitan erat dengan misteri (sakramen
babtis dan ekaristi), namun di lain pihak sama derajatnya dengan mistik
filosofi.
Gregorius dari Nyssa mengembangkan teologi eikôn, teologi gambar untuk menunjukkan Kristologi dan antropoligi
teologi. Manusia diciptakan menurut gambar Allah (imago dei) (Kej. 1:26-27),
bagi Gregorius, dengan mengenal diri sendiri mensuia dimungkinkan untuk
mengenal Allah, sebab ketika diciptakan, Allah menempatkan ciri corak-Nya dalam
batin manusia. Dengan mengenal gambar saja kit akan mengenal Dia yang
digambarkan. Jiwa manusia juga dapat memandang Allah. Manusia tidak bisa
menatap logos secara langsung tetapi
harus cermin jiwa.
Menurut St. Agustinus hati manusia adalah oragan pengenalan akan Allah.
Hati yang dimurnikan melalui askesis, iman kepercayaan dan cinta kasih itu
dapat mengenal Allah. Paham iman ditentukan oleh kewibawaan (Auctoritas) dan
dengan tatapan Allah atau Kristus (Fisio Dei [Christi]). Auctoritas merupakan kesatuan dari alkitab dan gereja sebagai
pedoman iman (regula Fidei) dipadatkan dalam syahadat. Dalam Mat. 7:7, bagi
Agustinus, jiwa kristiani diajak untuk maju dari iman kerpercayaan kepada
tatapan (yang kontemplatif). Program teologi “percaya untuk mengerti” (Creedo
ut Intellegam) menjadi program yang dari auctoritas
menuju illuminatio (penerangan
batin oleh Roh Kudus), sehingga secara intuisi manusia dapat memandang Allah
yang transenden. Dari komponen iman di atas, Agustinus membuat distingsi “Sabda
lahir” dan “Sabda batin” untuk menjelaskan illuminasi apada waktu membaca
alkitab. Mula-mula Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, para Nabi dan para
Rasul harus dimengerti sebagai “Sabda lahir”, namun ketika dipelajari dan
ditafsirkan akan ditemukan maknanya yang terdalam dan tersembunyi, itulah
“Sabda batin” bagi mereka yang mengerti dengan baik Sabda itu. Hal ini didorong
oleh cinta kasih.
1. Thomas Aquinas tentang Iman
Iman menurut Thomas adalah asentire
primae veritati (menyetujui kebenaran pertama) maka jelas bahwa baginya
iman mempunyai suatu aksen intelektual, merupakan suatu tindakan yang dilakukan
intelek manusia. Sehingga bagi Thomas iman merupakan suatu persetujuan akal
budi manusia kepad kebenaran pertama / ilahi. Tetapi tindakan intelek saja
tidak cukup, akal budi harus digerakkan oleh kehendak supaya ia setuju. Dengan
demikian, oleh adanya unsur kehendak dalam aktus iman, maka kebebasan iman
terjamin. Unsur intellectus dan voluntas harus bergabung dalam aktus
iman, ini bisa kita lihat dalam penjelasannya tentang definisi iman sebagai cum assensione cogitare (mempertimbangkan
dengan persetujuan) yang diambilnya dari Agustinus. Mengenai definisi itu
Thomas mengatakan: It ideo assensus hic
accipitur pro actu intellectus secundum quod a voluntate determinatur ad unum (maka
dalam definisi ini persetujuan dimengerti sebagai tindakan akal budi, sejauh
akal budi didorong untuk itu oleh kehendak).
Bagi Thomas, suatu aktus manusia hanya bisa berkenan pada Allah, bisa
merupakan actus neritorius, kalau
aktus itu berasal dari kehendak bebas yang digerakkan oleh rahmat Allah, maka
iman yang membenarkan harus merupakan aktus semacam itu: Ipsum autem credere est actus intellectus assentientis veritati divinae
ex imperio voluntatis a Deo motae per gratiam (Ada pun percaya merupakan
suatu tindakan akal budi yang menyetujui kebenaran ilahi oleh karena perintah
kehendak yang digerakkan Allah melalui rahmat).
Dalam teologi skolastik, tindakan kehendak yang efektif itu umumnya
disebut caritas, cinta kasih. Maka
Thomas mengatakan: supaya iman menjadi suatu actus meritorium, iman itu harus dibarengi cinta. Cinta iotu
disebut forma fidei, sehingga teologi
skolastik berbicara mengenai fides
caritate firmata. Iman yang dibentuk cinta itu merupakan iman yang
membenarkan.
1. Luther tentang Iman yang Membenarkan
Luther menekankan bahwa pembenaran itu duhadiahkan oleh Allah kepada
manusia. Menurut Luther manusia diselamatkan ileh iman, bukan oleh perbuatan
kita. Di sini Luther mau meninjolkan, bahwa Allah sendiri membenarkan secara
gratis, tanpa menuntut pahala manusia terlebih dahulu. Allah bertindak aktif di
dalam pembenaran, sedangkan manusia harus tingal pasif, karena manusia tidak
bisa menyelamatkan diri, kita diselamatkan sola
fide, hanya karena iman akan Allah yang berkarya dalam Yesus Kristus untuk
kita.
Luther mengeritik, bahwwa dalam prakter Gereja dan dalam teologi tentang
iman, iamn dan perbuatan dicampuradukan dan karena itu Injil tentang pembenaran
yang diberikan Allah secara gratis karena Yesus Kristus telah ditinggalkan dan
dihianati. Dengan alasan itu Luther menolak fides
caritate formata harus diganti dengan sola
fide. Karena, kalau iman baru membenarkan kalau dibarengi dengan cinta,
maka perbuatan manusia (ialah cinta) yang menyelamatkan dan perbuatan manusia
itu menyingkirkan jasa Yesus Kristus.
Luther harus menolak formula skolastik itu, karena ia menafsirkan dengan
mengerti caritas sebagai usaha untuk
mencintai sesama dan melakukan karya amal. Sedangkan dalam teologi skolastik,
formula fides caritate formata mau
mengatakan: Allah yang mengundang dan menggerakkan manusia untuk bertobat,
tidak hanya menggerakkan akal budi, tetapi juga kehendak manusia. Dengan kata
lain pertobatan dan pembenaran menyangkut mansia seutuhnya. Di sini Luther
tidak mengerti konteks dan arti yang sebenarnya dari forma fides caritate formata. Ia mengerti cinta sebagai karya manusia,
sehingga ia harus menolak formula tadi sebagai suatu penjelasan tentang iman
yang pembenaran yang mengaburkan sifat hadiah dari pembenaran dan menjadikan
pembenaran suatu hasil perbuatan manusia.
Luther mengerti iman sebagai suatu sikap eksistensial yang menyangkut
seluruh manusia dan tenaganya. Menurutnya, iman dalah manusia menerima
pengadilan dan pembenaran Allah atas dirinya dan melindungi di dalam belas
kasih Allah yang nyata dalam Yesus Kristus. Maka jelas, bahwa atas dasar
pengertian demikiann tentang iman, formula sols
fide sama luas artinya seperti fides
caritate formata dalam teologi skolastik.
2. Pembenaran dan Iman menurut Konsili Trente
Dekrit tentang pembenaran yang disahkan oleh Konsisli Trente pada 13
Januari 1547, dimaksudkan sebagai penolakan posisi reformasi dan sekalgus
sebagai penjelasan tentang pembenaran dan peran iman di dalamnya.
Trente menegaskan, bahwa pembenaran sungguh-sungguh merupakan karya Allah
demi keselamatan manusia. Tetapi konsili tidak menerima kesimpulan bahwa
manusia sama sekali pasif dan tidak turut serta dalam proses pembenaran, karena
pembenaran itu dikerjakan oleh Allah. Konsili Trente berpendapat, bahwa manusia
juga terlibat secara aktif, karena ia menerima hadia dari Allah secara bebas,
yang bisa juga menolaknya.
Persiapan dalam diri manusia yang dikerjakan Allah dan yang perlu demi
pembenaran, digambarkan Konsili Trente sebagai berikut:
Orang
dewasa disiapkan bagi kebenaran / keadilan itu atas cara berikut: Dengan
dibangkitkan dan dibantu oleh rahmat ilahi, mereka menerima iman dari
pendengaran (bdk Rm 10:17) dan dengan demikian mereka secara bebas diangkat
kepada Allah, sambil percaya sebagai benar apa yang diwahyukan dan dijanjikan
Allah, terutama bahwa orang berdosa dibenarkan oleh rahmat Allah karena
penebusan dalam Kristus Yesus (Rm 3:24). Selanjutnya, kalau mereka mengerti
bahwa mereka berdosa dan merasa digoyahkan oleh rasa ketakutan sehat terhadap
keadilan Allah, mereka akan mengingat belas kasih Allah dan akan didorong
kepada harapan penuh kepercayan bahwa Allah akan mengasihani mereka demi
Kristus. Dengan demikian, mereka akan mulai mencintai Dia sebagai sumber segala
keadilan dan melawan dosa dengan rasa benci dan jijik, artinya dalam pertobatan
yang dilakukan sebelum permandian; akhirnya mereka berniat menerima
pembabtisan, melalui suatu hidup baru dan mentati perintah-perintah Ilahi (ND
1930).
Dalam pengertian mengenai
iman, Konsili kurangt lebih kembali kepada teologi skolastik yang agak kuat
mengerti iman sebagai persetujuan intelek kepada kebenaran-kebenaran yang
diwahyukan. Iman itu perlu dengan pembenaran, tetapi iman itu tidak cukup,
pembenaran tidak terjadi sola fide, melainkan
iman harus dilengkapi denghan harapan dan cinta. Dalam bab 7 dari dekrit itu:
Iman
tanpa harapan dan cinta tidak mempersatukan manusia secara sempurna dengan
Kristus dan tidak membuat orang menjadi anggota hidup pada tubuh-Nya. Karena
benar apa yang ditulis: Iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak. 2:17) dan tak
berguna, dan bagi orang-orang yang berada dalam Kristus Yesus hal bersunat atau
tidak bersunat tidak mempunyai arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih (Gal.
5:6). Inilah iman yang seturut tradisi apostolik diminta oleh para calon babtis
dari Gereja sebelum mereka menerima sakramen baptisan, jika mereka meminta iman
yang memberikan hidup abadi, karena hidup abadi tidak bisa diberikan oleh iman
tanpa harapan dan kasih (ND 1934).
Dalam bab 8, Konsili
menegaskan bahwa iman sungguh bersifat fundamental, supaya mansia dibenarkan
dan bahwa kebenaran itu bersifat gratis, tidak menuntut jasa apapun dari
manusia, sehingga jelas bahwa harapan dan kasih tidak ditafsirkan sebagai perbuatan
manusia, yang harus dilakukan manusia dahulu supaya Allah berkenan untuk
membenarkan mereka.
Sang
rasul mengatakan bahwa manusia dibenarkan oleh iman dan dengan cuma-cuma (Rm.
3:22.24). Kata-kata ini harus dimengerti secara tepat sebagaimana dipertahankan
dan dijelaskan oleh Gereja Katolik dengan sebulat hati. Mereka mengatakan: Kita
dibenarkan oleh iman, karena iman merupakan awal keselamatan bagi manusia,
dasar dan akar setiap pembenaran; tanpa iman tak seorangpun bisa berkenan
kepada Allah (Ibr. 11:6) dan masuk kedalam persekutuan putera-putera-Nya.
Mereka
mengatakan: Dibenarkan dengan Cuma-Cuma karena tida sesuatupun yang mendahului
pembenaran-entah iman, entah perbuatan-memperoleh rahmat pembenaran. Karena ia
diberikan sebagai rahmat, maka ia tidak diberikan berdasarkan perbuatan, kalau
tidak demikian, maka sebagaimana dikatakan oleh rasul yang sama: Rahmat bukan
rahmat lagi (Rm. 11:16) (ND 1935).
1V. PAHAM
IMAN PADA ABAD XIX DAN XX
1. Iman Dalam Konsili Vatikan I
Iman dalam Konsili Vatikan I lebgih menekankan suatu hubungan antara iman
dan akal budi. Tetapi di satu pihak terdapat suatu penyimpangan rasionalisme
(teologi) yang secara eksklusif memperhatikan akal dan kodrad, sambil
mengesampingkan iman yang adikodrati. Rasionalisme adalah kebenaran yang dapat
dipertanggungjawabkan oleh akal budi (ratio) dapat menangkapnya sebagai benar.
Ajaran Konsili Vatikan I dapat dikupas disekitar butir-butir berikut
Ø
Kewajiban: Iman sebagai kewajiban, kita wajib
percaya kepada Allah yang mewahyukan diri-Nya sebagai pencipta dan Tuhan. Dasar
kewajiban itu terletak dari kenyatan bahwa manusia sepenuhnya bergantung kepada
Allah.
Ø
Kepatuhan akal budi dan kehendak: Konsili
Vatikan I menekankan bahwa baik akal budi maupun kehendak manusia ikut
memainkan peranan dalam iman kepercayaan kepada Allah, patuh kepada-Nya dengan
tahu dan mau.
Orang beriman harus atas dasar Allah dan Gereja, menerima sebagai nbenar
ajaran-ajaran yang kebenarannya tidak dapat.
Konsili Vatikan II berusaha menemukan suatu jalan yang menghargai peran akal
budi manusia tetapi juga memperlihatkan perlunya wahyu atas alamia yang harus
diterima dalam iman.
2. Iman Dalam Konsili Vatikan II
1. Penyerahan
diri sepenuhnya kepada Allah secara bebas.
Iman adalah sebagai tindakan
penyerahan pribadi manusia seluruhnya kepada Allah secara bebas. Istilah
alkitabiah “ketaatan iman” (Rm. 16:26), diartikan oleh Konsili Vatikan II
secara persnal sebagai jawaban bebas dari pihak manusia dan dengan demikian
menanggapi anugerah wahyu dari pihak Allah.
2. Obyek Iman
Kepercayaan Yaitu Allah Sendiri
Obyek iman adalah Allah sendiri
sebagai pewahyu bukan kebenaran-kebenaran. Jadi yang pertama-tama yang
dipercayai ialah Allah yang berbicara, Allah yang mewahyukan. Pribadi Allah
yang pertama-tama diimani manusia dalam sikap penyerahan diri yang total kepada
Dia.
3. Iman Itui
Anugerah
Iman sebagai pertemuan personal
dengan Allah. Itu merupakan anugerah Allah kepada manusia “supaya iman itu ada”
perlu uluran tangan dan bantuan rahmat Allah serta pertolongan batin dalam Roh Kudus.