Minggu, 29 April 2012

FALSAFAH LIMA JARI


FALSAFAH LIMA JARI
            Seperti kita ketahui bersama bahwa sebagian besar manusia memiliki dua tangan dan setiap tangan memiliki 5 jari yang berbeda. Namanya pun berbeda-beda sesuai dengan bentuk dan fungsinya.
1.      Jempol: paling gemuk diantara jari yang lain, juga mungkin paling jelek. Tempatnya pun paling jauh dengan jari yang lain. Namun dia paling senang memuji!
2.      Telunjuk: mungkin dia yang paling rewel diantara yang lain. Suka bertanya-tanya tetapi juga suka marah-marah, membuat yang lain menjadi sakit hati.
3.      Jari tengah: paling tinggi diantara yang lain, tempatnya pun ditengah (suka mengawasi yang lain?) Ternyata dia senang mengejek yang lain….(dengan hanya menjulurkan jari tengah?)
4.      Jari manis: ini dia…yang pendiam, rajin, jarang menonjolkan diri sehingga suka diberi hadiah…cincin.
5.      Kelingking: paling kecil diantara yang lain, tidak pemarah, maka dia adalah pemaaf. (waktu kecil ketika berbaikan, kita suka saling menggandengkan kelingking).

Dari kelima karakter tadi, ternyata kalau bekerjasama akan dapat berbuat sesuatu yang baik dan berguna, misalnya menulis, makan, bekerja dan lain-lain bukan melakukan yang tidak baik. Bayangkan kalau jari kita semuanya jempol..meskipun semuanya akan senang memuji, atau semuanya telunjuk….yang kelima-limanya akan sering marah-marah.

KASIH SAYANG:
ANTARA KATA & LAKU

            Generasi abad ini sedang diajak untuk mengikuti lomba “pamer gengsi”. Finalnya adalah untuk “melebihi” atau sekurang-kurangnya “menyaingi” orang yang ada di sekitarnya. Menarik! Namun hal tersebut bukanlah suatu kebanggaan. Di balik pamor itu tersulam noktah-noktah hitam seperti nila yang siap merusak susu sebelangga. Egoisme, iri hati dam puas diri merebak ketika ajakan berlomba mengusiknya. Semua terjadi begitu saja dan tanpa disadari telah mengorbankan diri sendiri dan sesama. Bahkan, orang yang paling dicintai pun, kadang harus dikorbankan.
            Memang benar, setiap orang berhak mewujudkonkritkan keinginannya. Hanya saja kebenaran itu perlu “dikurangi” nilainya ketika keberadaan orang lain pun turut diperhitungkan. Keberadaan orang lain turut menentukan keberadaanku sebagai manusia. Maka, hendaknya tindakan itu disertai dengan pengakuan akan penerimaan kekurangan diri dan kelebihan diri, juga kekurangan dan kelebihan dari orang lain.
            Winston Churchill pernah berujar: “kita mendapat penghidupan dengan apa yang kita peroleh, tetapi kita menganyam kehidupan dengan apa yang kita berikan.” Kata-kata ini menegaskan bahwa hidup ini akan sungguh-sungguh terasa bila kita mendapat apa yang kita inginkan. Tetapi seperti kata orang, segala sesuatu di bawah kolong langit tidak pernah abadi. Semua yang kita peroleh di bawah sinar matahari tidak akan bertahan lama. Hanyalah kefanaan belaka.
            Lantas, apa yang harus kita lakukan dengan semua yang bersifat fana ini?
            Hidup yang kita jalani dengan segala sesuatu yang kita peroleh darinya, adalah sebuah hadiah istimewa dari Sang Empunya hidup dan kehidupan. Maka hendaknya jangan pernah ada kata sombong dan bangga dengan semuanya. Kalau kita berpikir untuk mengolah apa yang kita peroleh dari hidup ini, berarti kita sedang berusaha menganyam kehidupan ini. Caranya telah diberikan oleh Winston Churchill sendiri, yaitu: “Berikan apa yang telah kita peroleh kepada yang membutuhkan, jika demikian itu pertanda kita telah, sedang dan akan mewujud-konkritkan apa yang dinamakan kasih sayang.” Sebentuk kasih sayang akan membantu mereka yang secara lahiriah maupun batiniah mengalami kekurangan.
            Namun, muncul pertanyaan lebih lanjut, “Apakah ungkapan kasih sayang itu adalah ungkapan hati atau ungkapan bibir belaka yang disertai intensi-intensi khusus, semisal supaya dikatakan orang baik, ataukah “Do ut des?” (saya memberi supaya engkau memberi).
            Pengungkapan kasih sayang kepada orang lain seharusnya bersumber dari hati, bukan sebatas bibir saja. Ungkapan kasih sayang dari kedalaman hati bermaksud baik, sedangkan yang berasal dari bibir saja, biasanya dibarengi dengan beragam intense. Dan terlebih intensinya bersifat menghancurkan, bukan melengkapi satu sama lain. Mengapa demikian? Kita perlu untuk berkaca. Sering hal kecil, yang hampir tak pernah disadari pun ternyata menjadi biang utama sebuah kehancuran. Semisal ketika seseorang belajar mendeskripsikan kasih sayang sebagai suatu kebaikan dan menjalani hidup dengan cara yang diterima orang lain, ia berpikir bahwa karyanya benar-benar murni sebuah pelayanan yang penuh kasih. Namun tetap saja, bagaimanapun juga itu merupakan kepentingan diri yang disembunyikan: mencuat sebagai sebentuk kemurahan hati.
            Ungkapan kasih sayang yang keluar dari hati, direalisasikan tanpa sepengetahuan tangan kiri dan tanpa perhitungan ekonomis dan psikologis. Bukan do ut des melainkan kesungguhan tak bersyarat. Bentuk ungkapan kasih sayang ini terlihat dengan jelas lewat ungkapan kasih sayang Mother Theresa kepada orang-orang di sekitarnya. Ia rela meninggalkan kenyamanan biara. Bukan untuk dikatakan baik. Bukan juga untuk mencari popularitas. Tekadnya untuk meninggalkan biara adalah demi duka dan tangis orang-orang Calcutta di balik tembok biara.
            Ungkapan kasih sayang yang keluar dari bibir belaka adalah ungkapan yang sarat dengan intense-intensi tertentu. Intense destruktif, merugikan si penerima dan menguntungkan si pengungkap. Opportunist. Tujuannya bersifat sepihak, hanya untuk mencari perhatian; supaya menjadi terkenal, dikatakan baik hati, dengan dalih perhatian untuk sesame dan ingin beramal kepada Tuhan. Semisal modus tiap pelajar yang membalas kasih sayang orangtuanya dengan merekayasa nilai lewat menyontek.
            A. A. Navis menulis dalam novel Robohnya Surau Kami:
            “Ya Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu, bahkan dalam kasih-Mu ketika aku sakit, nama-Mu selalu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu, aku selalu membaca kitab-Mu, tapi yang tak aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah yang maha tahu.”
            Hidup orang ini begitu saleh bahkan seluruh hidupnya ia korbankan untuk Tuhan, tapi mengapa ia harus dikirim oleh Tuhan ke neraka dan bukan ke surga? Jawabannya karena kasih sayangnya untuk Tuhan ternyata bertujuan untuk mendapatkan perhatian Tuhan. A. A. Navis melanjutkan:
            “…..dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena ibadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang…..”
            Tuhan menurut A. A. Navis adalah Dia yang tidak gila pujian. Ia tidak ingin dipuji terus menerus sampai mengabaikan sesama di sekitar yang menderita. Ternyata yang harus dipentingkan adalah memberikan kasih sayang kepada sesame karena merekalah yang menghadirkan Tuhan bagi kehidupan ini. Kedua bentuk kasih sayang selalu menjadi teman dalam keseharian. Ungkapan kasih sayang dari kedalaman hati dan ungkapan kasih sayang dari bibir. Semua memiliki guna dalam kehidupan. Yang dipentingkan bagi kehidupan ini adalah keberanian untuk memilih. Memilih: pengungkapan kasih sayang dari kedalaman hati seperti Mother Theresa yang betul-betul berasal dari hati, atau ungkapan kasih sayang dari bibir belaka seperti yang dilakukan oleh mahasiswa itu dan Saleh dalam cerita A. A. Navis.
            Hendaknya sebagai manusia berakhlak, yang harus dipentingkan adalah ungkapan dari kedalaman hati, karena di dunia ini semua manusia berkaum, semuanya bersaudara. Di sini tentunya dibutuhkan sikap saling (saling mempedulikan, saling memperdayakan, -bukan sebatas pemenuhan kebutuhan material-), pembangunan martabat, persaudaraan sejati dan lebih lagi untuk membangun persaudaraan dengan Allah. Hingga ujung-ujungnya tercapailah kesejahteraan yang padanya disebut dengan kesejatian hidup.

Negara sebagai Penjamin HAM Perspektif John Locke


Negara Sebagai Penjamin HAM
Perspektif John Locke
(By: Albertho Pelangi Mangu, S.Fil)


Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk lain. Manusia dibekali akal pikiran sehingga dengan potensi itu dapat mencipta, berkarya serta mengolah alam yang ada demi kesejahteraan hidupnya. Karena kedudukannya yang tinggi tersebut, dalam kehidupan sehari-hari manusia berbeda dengan makhluk lain. Atas dasar keadaan demikian, manusia dilekati hak yang bersifat istimewa yang disebut Hak Asasi Manusia (HAM).
HAM merupakan suatu konsep etika politik modern dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Gagasan ini membawa tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya manusia. Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau “dilemahkan” dari tindakan semena-mena yang biasanya datang dari mereka yang kuat dan berkuasa. Karena itu, esensi dari konsep HAM adalah penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa ada diskriminasi berdasarkan apapun dan demi alasan apapun; serta pengakuan terhadap martabat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi.

Hak Asasi Manusia
Menurut Ali Mudhofir dalam Kamus Istilah Filsafat dan Ilmu, HAM diartikan sebagai hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawa bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan menurut Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pasal 1, “semua manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat serta hak-hak. Mereka dikaruniai akal budi dan suara hati dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.” Hal ini sejalan dengan pengertian yang mengatakan bahwa HAM adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, HAM juga diartikan sebagai hak paling pokok pada setiap orang untuk bebas hidup dan hak untuk mendapat perlindungan.
HAM itu melekat pada kodrat manusia dan dimiliki oleh setiap insan sebagai manusia, dimana pun dan kapan pun ia berada. HAM itu merupakan hak-hak dasar (pokok) yang dibawa oleh manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan. Kesadaran akan pentingnya HAM terlihat sangat menonjol dan mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-20 dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya, dimana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) di Paris pada Desember 1948. Peristiwa bersejarah ini merupakan puncak perjuangan yang sangat panjang sejak peristiwa pertama adanya pengakuan secara formal atas HAM pada tahun 1215 di Inggris yakni adanya Magna Charta Libertatum yang melarang penahanan, penghukuman, dan perampasan benda dengan sewenang-wenang. Piagam dasar ini yang melahirkan banyak dokumen menyangkut HAM selanjutnya.

Negara sebagai Penjamin HAM Menurut John Locke
Pembicaraan mengenai HAM tentunya tidak bisa dilepas pisahkan dari negara, karena individu-individu itu bernaung dalam suatu wilayah pemerintahan. Menurut Plato, negara itu didirikan oleh individu-individu yang membentuk suatu kelompok masyarakat karena adanya kebutuhan yang beraneka ragam. Oleh karena itu, menurut Plato negara itu dipegang oleh rakyat dan kepentingan rakyatlah yang harus diutamakan. Dengan demikian, Plato sebenarnya mau mengatakan bahwa negara perlu menjamin hak-hak dari individu-individu itu. Pemikiran ini kemudian dilanjutkan oleh muridnya Aristoteles, juga bagi para filsuf selanjutnya.
Konsep mengenai HAM memasuki teori dan praktik politik utama di Eropa pada abad ke-17 oleh John Locke. Namun dapat dikatakan bahwa ide mengenai HAM ini secara tidak langsung telah dibicarakan oleh para filsuf sebelumnya, yakni Plato, Aristoteles, Epicurus, Marsilius, Althusius, hingga Grotius, yang secara garis besar mengatakan bahwa negara itu berdiri karena adanya kesepakatan atau perjanjian antara individu-individu. Dan negara bertugas untuk melindungi dan lebih mementingkan kepentingan individu-individu itu sendiri. Dengan demikian, hal ini menyangkut  hak-hak dari individu-individu itu.
Dalam Second Treatises of Government, John Locke menyajikan teori pertama yang betul-betul berkembang mengenai hak-hak asasi manusia. Teori John Locke ini mulai dengan suatu “keadaan alamiah”. Dalam keadaan alamiah, setiap individu memiliki hak-hak kodrati yang sama akan kehidupan, kebebasan, dan harta milik. Keadaan alamiah ini adalah keadaan kebebasan, tetapi bukan keadaan di mana orang berbuat sekehendaknya. Hal ini didasarkan pada pemikirannya tentang manusia yakni manusia sebagai makhluk yang dilahirkan bebas dan setara walaupun kemampuan fisik maupun intelektualnya berbeda-beda. Di samping melihat kesetaraan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, Locke juga tidak menutup mata pada fakta bahwa manusia itu berbeda, misalnya yang satu lebih kuat daripada yang lainnya. Menurutnya, hal tersebut merupakan bagian dari kodrat manusia. Dengan kualitas yang dimilikinya masing-masing, setiap manusia memperoleh hak milik. Hak milik merupakan kodrat alamiah manusia, bagian dari manusia, dan bagian dari penegasan diri manusia.
Namun karena tidak adanya pemerintahan, hak-hak ini sedikit saja nilainya. Hak-hak itu hampir mustahil dilindungi dengan cara tindakan individu, dan pertengkaran-pertengkaran mengenai hak-hak itu sendiri merupakan penyebab dari banyaknya konflik yang hebat. Keadaan seperti inilah yang disebut Locke sebagai “keadaan perang”. Dengan demikian, kondisi seperti ini tidak memadai untuk menjamin hak hidup, hak kebebasan dan hak milik. Kesulitan untuk mengatur hak-hak itu membuat individu-individu itu mulai melakukan suatu perjanjian atau kontrak untuk membangun masyarakat yang bebas dan juga dapat menjamin hak-hak dari individu-individu yang melakukan perjanjian itu dalam suatu pemerintahan atau negara.
Pemerintah menurut Locke, didasarkan pada suatu kontrak sosial antara penguasa dengan mereka yang dikuasainya. Rakyat wajib tunduk hanya apabila pemerintah itu menjamin dan melindungi hak-hak asasi mereka, yang secara moral lebih penting dan mengatasi tuntutan-tuntutan dan kepentingan-kepentingan pemerintah tersebut. Pemerintah itu sah sejauh apabila pemerintah tersebut secara sistematis melindungi dan memajukan pemanfaatan hak-hak asasi manusia oleh rakyatnya.
            Pemikiran Locke tentang HAM sebenarnya berhubungan dengan hak politik rakyat. Disini rakyat harus dijamin. Dan untuk menjamin hak politik rakyat maka tidak boleh ada penguasa yang absolut. Kekuasaan yang tertinggi terletak pada masyarakat politik, bukan pada penguasa tetapi pada rakyat. Pemikiran Locke ini berdasarkan pengandaian antropologis yang mendasari pemikiran Locke yakni “setiap manusia dilahirkan bebas dan setara.” Maka setiap manusia mempunyai hak-hak yang tidak dapat dilepaskan dari dirinya. Hak-hak tersebut adalah hak untuk hidup, kebebasan, dan hak milik. Yang menjadi perhatian Locke adalah hak milik, dimana menurut Locke “setiap manusia memiliki dirinya sendiri sebagai miliknya. Tak seorang pun memiliki hak atas pribadi orang lain kecuali pemiliknya sendiri. Dan tujuan untuk mengadakan kontrak sosial dimaksudkan untuk menjamin dan melindungi keutuhan hak setiap individu yang berada di dalamnya atau rakyat. Karena demi tujuan inilah setiap orang mau melepaskan kebebasan yang mereka miliki di dalam keadaan alamiah. Dengan demikian, sebenarnya Locke mau mengatakan bahwa tugas dari negara adalah untuk menjamin dan melindungi hak-hak asasi dari rakyatnya. Negara diciptakan untuk menjadi penjamin hak-hak asasi manusia.
Karena kekuasaan itu berasal dari rakyat, maka ia tidak bersifat mutlak. Di sini, kekuasaan negara terbatas. Negara hanya dibenarkan untuk bertindak dan berbuat sejauh bertujuan untuk melaksanakan tujuan yang dikehendaki rakyat. Dengan adanya dominasi negara yang domain dalam mengatur kehidupan rakyat, menurut Locke, hanya akan menyebabkan hilangnya hak-hak rakyat. Dan apabila negara atau pemerintah telah menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat, maka rakyat dapat memberikan perlawanan atau pemberontakan. Sebab dengan menyalahgunakan kekuasaannya, yakni melawan atau merampas hak asasi berdasarkan hukum kodrat dari setiap orang (rakyat), berarti raja telah menyatakan perang. Oleh karena itu, rakyat berhak untuk membela diri dengan mengadakan perlawanan.
Locke mengatakan bahwa demi mencegah timbulnya negara absolute dan terjaminnya hak asasi manusia, diperlukan konstitusi dalam membatasi kekuasaan negara. Selain itu, Locke juga menegaskan tentang pentingnya memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yaitu kekuasaan legislatif (kekuasaan pembuat undang-undang dan peraturan hukum), kekuasaan eksekutif  (pelaksana undang-undang), dan kekuasaan federatif (Kekuasaan ini mengandung wewenang untuk mengambil keputusan menyatakan perang dan mengadakan perdamaian, juga mengadakan hubungan dengan negara lain). Undang-undang yang dibuat oleh legislatif bersifat mengikat eksekutif atau pemerintah. Pelaksanaan kekuasaan eksekutif tidak boleh menyimpang dari undang-undang yang telah digariskan oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan untuk kekuasaan federatif, demi alasan praktis, maka Locke memasukkan kekuasaan federatif tadi ke dalam kekuasaan eksekutif. Di samping itu, Locke juga menekankan bahwa sebaiknya negara jangan teralu ikut campur dalam hal kebebasan menjalankan ibadah agama bagi warga negaranya. Dengan itu, Locke memberikan kebebasan bagi warga sipil untuk menganut agama sesuai dengan keyakinannya. Maka, menjadi jelaslah, negara didirikan untuk menjamin hak-hak asasi warga negaranya (hak-hak asasi manusia).

Penutup
            Negara yang baik adalah negara yang menjamin hak-hak asasi manusia. Kewajiban negara untuk memberikan perlindungan hukum tehadap korban pelanggaran HAM merupakan pelaksanaan prinsip perlindungan hukum bagi rakyat yang didasari oleh prinsip negara hukum. Indonesia sebagai negara hukum, juga menganut konsep bahwa negara perlu dan harus menjamin hak-hak asasi manusia. Konsep negara sebagai penjamin HAM di Indonesia, secara garis besar tertuang dalam UUD 1945. Hal ini dapat dilihat dalam pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh UUD 1945. Walaupun begitu, di Indonesia masih saja tejadi pelanggaran HAM dimana-mana dan penyelesaiannya pun masih tergantung atau belum jelas. Oleh karena itu, sebagai warga negara Indonesia, kita perlu bersikap. Kita harus selalu mengawasi jalannya pemerintahan demi terciptanya keadilan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.



Daftar Pustaka:
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008)
Ceunfin, Frans (ed.), Hak-Hak Asasi Manusia, Pendasaran dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik (Jilid I), (Maumere, Ledalero, 2004)
Suseno, Franz Magnis, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia,)
Wattimena,  Reza A. A., Melampaui Negara Hukum Klasik Locke-Rousseau-Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 2007)
Widyamarta, A., Kuasa Itu Milik Rakyat, (Yogyakarta: Kanisius, 2002)
Locke, John, An Essay Concerning Human Understanding, Vol I., (Collated and annotated by Alexander Campbell Fraser), (New York, Dover Publications, Inc., 1894)
_________, Second Treatises of Government., (Digitized by Dave Gowan),   diunggah dari: http://oregonstate.edu/instruct/phl302/texts/locke/locke2/locke2nd-a.html#CHAP.%20II.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Oval: 3Kekerasan Dalam Rumah Tangga:
Diskriminasi Terhadap Perempuan

            Perempuan adalah salah satu korban dari tindak diskriminasi terhadap harkat dan martabat manusia. Strata budaya kita dan dalam kehidupan sehari-hari perempuan atau wanita sering atau bahkan mengalami perlakuan yang sangat diskriminatif. Perlakuan atau tindak diskriminatif ini memposisikan wanita sebagai makhluk yang lemah, yang tak berdaya di mata kaum pria. Perlakuan atau tindak diskriminatif ini terjadi dalam berbagai aspek. Sejarah membuktikan, wanita atau perempuan di masa lampau bahkan sampai hari ini masih tetap terkungkung dalam realita yang sulit yaitu terbelenggu dalam kekuasaan pria.
            Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan atau wanita bukan saja dalam aspek-aspek sosial dan budaya, tetapi lebih dari itu ialah tindak kekerasan berupa kekerasan fisik, mental, seksual dan penelantaraan. Tindak kekerasan ini sering terjadi dalam masyarakat dan juga dalam kehidupan berumah tangga. Tindak kekerasan yang dialami oleh kaum perempuan atau wanita adalah suatu tindakan yang melanggar batas kesusilaan manusiawi. “Suami memukul isteri karena merasa dirinya dihina, ibu memasak di dapur, anak digarap di kamar tidur” atau “isteri mendapat suami sedang bermesraan dengan WIL”. Ini adalah sebagian contoh kecil dari tindakan kekerasan yang dialami  wanita dalam rumah tangga. Dengan contoh-contoh ini, jelas bahwa kaum perempuan atau wanita berada di bawah kekuasaan pria. Wanita hanya sebagai pelengkap pria.
            Kekerasan adalah sebentuk diskriminasi terhadap harkat dan martabat manusia. Kekerasan adalah perbuatan yang mengkibatkan penderitaan fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran terhadap seseorang. Kekerasan adalah suatu perbuatan atau tindakan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan yang melawan norma hukum dan norma sosial.
            Salah satu contoh penindasan terhadap wanita dalam rumah tangga adalah pemukulan isteri yang dilakukan oleh suami, kepala rumah tangga karena merasa diri dihina oleh sang isteri. Dengan melakukan tindak penganiayaan terhadap isteri, sang suami didakwa melanggar Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), atau kasus pelecehan seksual, ayah tiri memperkosa kakak beradik.
            Dalam lingkup yan lebih sempit, perempuan dalam rumah tangga (entah isteri atau anak) kadang dijadikan sasaran ketidakpuasan pria, mereka sering mendapat perlakuan yang tidak adil, tidak sesuai dengan harkat dan martabat mereka sebagai manusia. Kerap kali para pria menggunakan kekuasaan mereka sebagai orang yang kuat, perkasa, pintar, yang punya hak untuk menekan kreatifitas perempuan.
            Kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga (KDRT) terjadi dengan modus yang berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Kejadian tersebut dilatarbelakangi oleh faktor dan modus yang berbeda, antara lain sbb:
1.      Budaya kita sebagian besar menganut sistem patrilineal. Budaya patrilineal seperti sudah dikatakan di atas, membuat perempuan tunduk di bawah kaum pria. Dengan ini, dapat disimpulkan bahwa dari sekian banyak pulau dan daerah, serta kabupaten yang berada di wilayah NTT ini, setiap harinya (minimal) terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan.
2.      Berbeda tempat dengan sendirinya situasi dan kondisi tempat itu berbeda, serta latar belakang pemikiran, budaya dan kebiasaan tempat berbeda.

Penindasan (kekerasan fisik) adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa takut, jatuh sakit atau luka parah. Aksi tersebut dapat berupa pukulan dan aniaya yang mengakibatkan penderitaan fisik dan batin bagi si penderita.

Penindasan psikis dalam bentuk kekerasan adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, kurangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan fisik yang dialami oleh wanita dalam rumah tangga secara tidak langsung mempengaruhi psikis si penderita. Memang tidak semua kekerasan fisik mengakibatkan penderitaan psikis. Tindak kekerasan psikis lebih ditekankan pada perasaan; perasaan yang tidak menentu karena selalu dihantui oleh rasa takut yang dapat menimbulkan derita yang lebih fatal yaitu gila.

Kenyataan menunjukkan bahwa kekerasan psikis dalam rumah tangga mengakibatkan rasa takut, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan berkarya (hilangnya kemampuan untuk berkreasi), merasa tidak berdaya bahkan mengakibatkan kegilaan.
            Kasus kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu tindakan yang melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini tak dapat dipertanggungjawbkan baik secara hukum, moral maupun secara sosial karena hakekat wanita adalah makhluk bermartabat sama dengan pria. Lebih dari itu, wanita adalah juga gambaran Allah, sehingga membuat tindak kekerasan terhadap wanita berarti juga berbuat kekerasan terhadap Allah. Keterbukaan dari kaum pria untuk member kesempatan kepada kaujjm wanita untuk mengembangkan diri dalam berbagai asapek kehidupan adalah agenda yang mutlak dijanjikan.

Kamis, 26 April 2012

KASIH SAYANG: antara kata dan laku


KASIH SAYANG:
ANTARA KATA & LAKU

            Generasi abad ini sedang diajak untuk mengikuti lomba “pamer gengsi”. Finalnya adalah untuk “melebihi” atau sekurang-kurangnya “menyaingi” orang yang ada di sekitarnya. Menarik! Namun hal tersebut bukanlah suatu kebanggaan. Di balik pamor itu tersulam noktah-noktah hitam seperti nila yang siap merusak susu sebelangga. Egoisme, iri hati dam puas diri merebak ketika ajakan berlomba mengusiknya. Semua terjadi begitu saja dan tanpa disadari telah mengorbankan diri sendiri dan sesama. Bahkan, orang yang paling dicintai pun, kadang harus dikorbankan.
            Memang benar, setiap orang berhak mewujudkonkritkan keinginannya. Hanya saja kebenaran itu perlu “dikurangi” nilainya ketika keberadaan orang lain pun turut diperhitungkan. Keberadaan orang lain turut menentukan keberadaanku sebagai manusia. Maka, hendaknya tindakan itu disertai dengan pengakuan akan penerimaan kekurangan diri dan kelebihan diri, juga kekurangan dan kelebihan dari orang lain.
            Winston Churchill pernah berujar: “kita mendapat penghidupan dengan apa yang kita peroleh, tetapi kita menganyam kehidupan dengan apa yang kita berikan.” Kata-kata ini menegaskan bahwa hidup ini akan sungguh-sungguh terasa bila kita mendapat apa yang kita inginkan. Tetapi seperti kata orang, segala sesuatu di bawah kolong langit tidak pernah abadi. Semua yang kita peroleh di bawah sinar matahari tidak akan bertahan lama. Hanyalah kefanaan belaka.
            Lantas, apa yang harus kita lakukan dengan semua yang bersifat fana ini?
            Hidup yang kita jalani dengan segala sesuatu yang kita peroleh darinya, adalah sebuah hadiah istimewa dari Sang Empunya hidup dan kehidupan. Maka hendaknya jangan pernah ada kata sombong dan bangga dengan semuanya. Kalau kita berpikir untuk mengolah apa yang kita peroleh dari hidup ini, berarti kita sedang berusaha menganyam kehidupan ini. Caranya telah diberikan oleh Winston Churchill sendiri, yaitu: “Berikan apa yang telah kita peroleh kepada yang membutuhkan, jika demikian itu pertanda kita telah, sedang dan akan mewujud-konkritkan apa yang dinamakan kasih sayang.” Sebentuk kasih sayang akan membantu mereka yang secara lahiriah maupun batiniah mengalami kekurangan.
            Namun, muncul pertanyaan lebih lanjut, “Apakah ungkapan kasih sayang itu adalah ungkapan hati atau ungkapan bibir belaka yang disertai intensi-intensi khusus, semisal supaya dikatakan orang baik, ataukah “Do ut des?” (saya memberi supaya engkau memberi).
            Pengungkapan kasih sayang kepada orang lain seharusnya bersumber dari hati, bukan sebatas bibir saja. Ungkapan kasih sayang dari kedalaman hati bermaksud baik, sedangkan yang berasal dari bibir saja, biasanya dibarengi dengan beragam intense. Dan terlebih intensinya bersifat menghancurkan, bukan melengkapi satu sama lain. Mengapa demikian? Kita perlu untuk berkaca. Sering hal kecil, yang hampir tak pernah disadari pun ternyata menjadi biang utama sebuah kehancuran. Semisal ketika seseorang belajar mendeskripsikan kasih sayang sebagai suatu kebaikan dan menjalani hidup dengan cara yang diterima orang lain, ia berpikir bahwa karyanya benar-benar murni sebuah pelayanan yang penuh kasih. Namun tetap saja, bagaimanapun juga itu merupakan kepentingan diri yang disembunyikan: mencuat sebagai sebentuk kemurahan hati.
            Ungkapan kasih sayang yang keluar dari hati, direalisasikan tanpa sepengetahuan tangan kiri dan tanpa perhitungan ekonomis dan psikologis. Bukan do ut des melainkan kesungguhan tak bersyarat. Bentuk ungkapan kasih sayang ini terlihat dengan jelas lewat ungkapan kasih sayang Mother Theresa kepada orang-orang di sekitarnya. Ia rela meninggalkan kenyamanan biara. Bukan untuk dikatakan baik. Bukan juga untuk mencari popularitas. Tekadnya untuk meninggalkan biara adalah demi duka dan tangis orang-orang Calcutta di balik tembok biara.
            Ungkapan kasih sayang yang keluar dari bibir belaka adalah ungkapan yang sarat dengan intense-intensi tertentu. Intense destruktif, merugikan si penerima dan menguntungkan si pengungkap. Opportunist. Tujuannya bersifat sepihak, hanya untuk mencari perhatian; supaya menjadi terkenal, dikatakan baik hati, dengan dalih perhatian untuk sesame dan ingin beramal kepada Tuhan. Semisal modus tiap pelajar yang membalas kasih sayang orangtuanya dengan merekayasa nilai lewat menyontek.
            A. A. Navis menulis dalam novel Robohnya Surau Kami:
            “Ya Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu, bahkan dalam kasih-Mu ketika aku sakit, nama-Mu selalu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu, aku selalu membaca kitab-Mu, tapi yang tak aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah yang maha tahu.”
            Hidup orang ini begitu saleh bahkan seluruh hidupnya ia korbankan untuk Tuhan, tapi mengapa ia harus dikirim oleh Tuhan ke neraka dan bukan ke surga? Jawabannya karena kasih sayangnya untuk Tuhan ternyata bertujuan untuk mendapatkan perhatian Tuhan. A. A. Navis melanjutkan:
            “…..dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena ibadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang…..”
            Tuhan menurut A. A. Navis adalah Dia yang tidak gila pujian. Ia tidak ingin dipuji terus menerus sampai mengabaikan sesama di sekitar yang menderita. Ternyata yang harus dipentingkan adalah memberikan kasih sayang kepada sesame karena merekalah yang menghadirkan Tuhan bagi kehidupan ini. Kedua bentuk kasih sayang selalu menjadi teman dalam keseharian. Ungkapan kasih sayang dari kedalaman hati dan ungkapan kasih sayang dari bibir. Semua memiliki guna dalam kehidupan. Yang dipentingkan bagi kehidupan ini adalah keberanian untuk memilih. Memilih: pengungkapan kasih sayang dari kedalaman hati seperti Mother Theresa yang betul-betul berasal dari hati, atau ungkapan kasih sayang dari bibir belaka seperti yang dilakukan oleh mahasiswa itu dan Saleh dalam cerita A. A. Navis.
            Hendaknya sebagai manusia berakhlak, yang harus dipentingkan adalah ungkapan dari kedalaman hati, karena di dunia ini semua manusia berkaum, semuanya bersaudara. Di sini tentunya dibutuhkan sikap saling (saling mempedulikan, saling memperdayakan, -bukan sebatas pemenuhan kebutuhan material-), pembangunan martabat, persaudaraan sejati dan lebih lagi untuk membangun persaudaraan dengan Allah. Hingga ujung-ujungnya tercapailah kesejahteraan yang padanya disebut dengan kesejatian hidup.