|
MENANGANI KOMPLEKSITAS MANUSIA
Dunia pendidikan
masa kini diracuni berbagai mentalitas easy
going. Pendidikan saat ini telah mengarah pada usaha penerapan bergaya
instan. Misalkan usaha untuk mencapai kesuksesan dicapai dengan proses yang
sesingkat-singkatnya. Istilah sesingkat-sesingkatnya
dimengerti dalam kacamata pencapaian yang sangat mengharapkan jalan pintas
dengan memakai gaya nepotisme. Jalan pintas mulai dipakai. Dengan kata lain
usaha ini adalah sebuah penyimpangan terhadap kualitas pendidikan. Kualitas
dari pendidikan mengalami kematian nurani yang hanya dikarenakan oleh
subjektivisme dominatif manusia egoistis.
Dengan adanya hal ini, terlihat
jelas bahwa, manusia telah mengalami degradasi atas kualitas dirinya sendiri.
Tercorengnya tujuan pendidikan dapat juga berarti penurunan taraf terhadap
pemanusiawian manusia yang semakin manusiawi. Manusia adalah sumber dari segala
kompleksitas yang ada. Dikatakan demikian karena manusia adalah subjek
pendidikan aekaligus objek atas tindakan yang dibuatnya sendiri sebagai konsekuensinya.
Berbagai persoalan dapat dijadikan atau dihadirkan sebagai alasan dasariah atas
pernyataan yang dibuat di atas.
Persoalan-persoalan ini langsung
bersentuhan dengan dunia pendidikan. Misalkan dengan maraknya proses
sertifikasi guru tetapi dengan tendensi dominasi materialitas kebutuhan diri, plagiarisme dan sebagainya. Secara
positif, gelar doktor ataupun juga profesor yang mau dicapai adalah sebuah
usaha murni meningkatkan kualitas dunia pendidikan dengan basis kualitas diri
yang mapan. Hal ini memang tidak dapat disangkal. Bahkan jika mau dikatakan,
hal ini adalah sebuah pencapaian yang cukup baik untuk memperbaiki model
pendidikan yang statis dengan perubahan zaman yang makin berkembang.
Sebagai perlawanan atas kemurnian
tendensi ini, justru didapat sebaliknya kenyataan yang terjadi di lapangan.
Usaha untuk mendapat gelar dinodai oleh tingkah laku dengan pemakaian atas
rasio yang sangat sempit. Dengan demikian hipotesa yang dapat dibuat di sini
bahwa usaha untuk mendapatkan gelar dalam dunia pendidikan sama dengan
pemakaian rasio secara sempit.
Kompleksitas yang terjadi dalam
dunia pendidikan saat ini tentunya memiliki titik awal dan titik tuju yang
sangat jelas dalam operasionalitasnya. Titik awal dan titik tujunya tidak lain
dan tidak bukan adalah pada manusia itu sendiri. Manusia dapat dikatakan
sebagai dalang dalam dunia pendidikan yang serba problematis ini.
Manusia sebagai basis dari
segala persoalan yang ada. Hal ini juga
berarti bahwa problematika ini mengarah pada satu tendensi materialitas yang
finalnya ada pada manusia sendiri. Manusia kembali pada manusia. Tindakan awal
dan dalam proses selanjutnya menjadi penentu akhir dalam hasilnya. Manusia yang
memulai dalam pembuatannya menjadi korban dalam tujuannya sendiri.
Dengan latar belakang ini maka, saat
ini banyak kalangan yang mulai gencar memperbaiki kualitas pendidikan. Tidak
terlepas dengan sendirinya juga adalah terkait dengan lembaga pendidikan
sebagai yang juga berperan secara sentral
untuk perubahan yang mau dicapai. Secara praksis, perubahannya harus
dimulai pada manusia sendiri. Manusia menjadi akar masalah. Inilah yang menjadi
problemnya. Maka, pemecahannya harus dimulai dari manusia dengan aspeknya.
Melihat kenyataan problematis ini
maka, kualitas pendidikan harus dimulai dengan mengajarkan metode-metode untuk
menangani kompleksitas yang diracuni sekaligus meracuni manusia. Pendidikan
dalam ranah ini harus mampu untuk membangun dialog sekalipun harus berlawanan
secara dialogis, (sebagaimana ditulis oleh Yves Brunsvich dan Andre Danzin).
Pendidikan tidak hanya untuk menyiapkan generasi baru yang terampil untuk masa
depan tetapi proses pendidikan untuk mengabdikan seluruh kekuatannya pada
pembentukan hati dan pikiran melalui kekayaan yang ada dalam kolaborasi dengan harapan
umat manusia yang diakumulasi sepanjang sejarahnya.
Fitrah manusia adalah subjek dan
bukannya objek. Manusia dalam dunia pendidikan harus menjadi pelaku yang sadar
dalam mengatasi dunia yang menindas. Di sini sangat jelas dinyatakan bahwa
manusia sebagai subjek berarti bahwa tidak ada subjek penindas dan objek yang
tertindas. Manusia adalah subjek berpikir dan bertindak yang harus mampu untuk
menangani kompleksitas dirinya yang terlampau egoistis. Dengan demikian
pendidikan dalam kualitasnya mampu bersanding secara baru dalam dunia yang
terus berkembang.
Perkembangan zaman yang terjadi
secara terus menerus harus pula menjadi akil balik pemikiran manusia yang
komprehensif. Komprehensifitasnya terkait dengan pemaknaan setiap detail
perkembangan yang terjadi. Apa yang dimaui, apa yang dikehendaki dari
pendidikan yang ada dalam perkembangan yang terjadi di depana mata?
Dunia pendidikan harus menyatakan
diri sebagai sesosok pribadi yang dinamis. Pribadi yang harus senantiasa
dikritisi untuk secara sadar berpartisipasi secara kritis dalam perubahan.
Dunia pendidikan seharusnya mengenal dunia bukan sebagai dunia yang begitu saja
diterima namun sebagai dunia yang dinamis dalam proses pembentukannya.
Sebagaimana telah dinyatakan oleh Paulo Freire sang filsuf Amerika Latin.