Sabtu, 26 Mei 2012

PENDIDIKAN: MENANGANI KOMPLEKSITAS MANUSIA



                                                                     PENDIDIKAN:
MENANGANI KOMPLEKSITAS MANUSIA

        Dunia pendidikan masa kini diracuni berbagai mentalitas easy going. Pendidikan saat ini telah mengarah pada usaha penerapan bergaya instan. Misalkan usaha untuk mencapai kesuksesan dicapai dengan proses yang sesingkat-singkatnya. Istilah sesingkat-sesingkatnya dimengerti dalam kacamata pencapaian yang sangat mengharapkan jalan pintas dengan memakai gaya nepotisme. Jalan pintas mulai dipakai. Dengan kata lain usaha ini adalah sebuah penyimpangan terhadap kualitas pendidikan. Kualitas dari pendidikan mengalami kematian nurani yang hanya dikarenakan oleh subjektivisme dominatif manusia egoistis.
            Dengan adanya hal ini, terlihat jelas bahwa, manusia telah mengalami degradasi atas kualitas dirinya sendiri. Tercorengnya tujuan pendidikan dapat juga berarti penurunan taraf terhadap pemanusiawian manusia yang semakin manusiawi. Manusia adalah sumber dari segala kompleksitas yang ada. Dikatakan demikian karena manusia adalah subjek pendidikan aekaligus objek atas tindakan yang dibuatnya sendiri sebagai konsekuensinya. Berbagai persoalan dapat dijadikan atau dihadirkan sebagai alasan dasariah atas pernyataan yang dibuat di atas.
            Persoalan-persoalan ini langsung bersentuhan dengan dunia pendidikan. Misalkan dengan maraknya proses sertifikasi guru tetapi dengan tendensi dominasi materialitas kebutuhan  diri, plagiarisme dan sebagainya. Secara positif, gelar doktor ataupun juga profesor yang mau dicapai adalah sebuah usaha murni meningkatkan kualitas dunia pendidikan dengan basis kualitas diri yang mapan. Hal ini memang tidak dapat disangkal. Bahkan jika mau dikatakan, hal ini adalah sebuah pencapaian yang cukup baik untuk memperbaiki model pendidikan yang statis dengan perubahan zaman yang makin berkembang.
            Sebagai perlawanan atas kemurnian tendensi ini, justru didapat sebaliknya kenyataan yang terjadi di lapangan. Usaha untuk mendapat gelar dinodai oleh tingkah laku dengan pemakaian atas rasio yang sangat sempit. Dengan demikian hipotesa yang dapat dibuat di sini bahwa usaha untuk mendapatkan gelar dalam dunia pendidikan sama dengan pemakaian rasio secara sempit.
            Kompleksitas yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini tentunya memiliki titik awal dan titik tuju yang sangat jelas dalam operasionalitasnya. Titik awal dan titik tujunya tidak lain dan tidak bukan adalah pada manusia itu sendiri. Manusia dapat dikatakan sebagai dalang dalam dunia pendidikan yang serba problematis ini.
            Manusia sebagai basis dari segala  persoalan yang ada. Hal ini juga berarti bahwa problematika ini mengarah pada satu tendensi materialitas yang finalnya ada pada manusia sendiri. Manusia kembali pada manusia. Tindakan awal dan dalam proses selanjutnya menjadi penentu akhir dalam hasilnya. Manusia yang memulai dalam pembuatannya menjadi korban dalam tujuannya sendiri.
            Dengan latar belakang ini maka, saat ini banyak kalangan yang mulai gencar memperbaiki kualitas pendidikan. Tidak terlepas dengan sendirinya juga adalah terkait dengan lembaga pendidikan sebagai yang juga berperan secara sentral  untuk perubahan yang mau dicapai. Secara praksis, perubahannya harus dimulai pada manusia sendiri. Manusia menjadi akar masalah. Inilah yang menjadi problemnya. Maka, pemecahannya harus dimulai dari manusia dengan aspeknya.
            Melihat kenyataan problematis ini maka, kualitas pendidikan harus dimulai dengan mengajarkan metode-metode untuk menangani kompleksitas yang diracuni sekaligus meracuni manusia. Pendidikan dalam ranah ini harus mampu untuk membangun dialog sekalipun harus berlawanan secara dialogis, (sebagaimana ditulis oleh Yves Brunsvich dan Andre Danzin). Pendidikan tidak hanya untuk menyiapkan generasi baru yang terampil untuk masa depan tetapi proses pendidikan untuk mengabdikan seluruh kekuatannya pada pembentukan hati dan pikiran melalui kekayaan yang ada dalam kolaborasi dengan harapan umat manusia yang diakumulasi sepanjang sejarahnya.
            Fitrah manusia adalah subjek dan bukannya objek. Manusia dalam dunia pendidikan harus menjadi pelaku yang sadar dalam mengatasi dunia yang menindas. Di sini sangat jelas dinyatakan bahwa manusia sebagai subjek berarti bahwa tidak ada subjek penindas dan objek yang tertindas. Manusia adalah subjek berpikir dan bertindak yang harus mampu untuk menangani kompleksitas dirinya yang terlampau egoistis. Dengan demikian pendidikan dalam kualitasnya mampu bersanding secara baru dalam dunia yang terus berkembang.
            Perkembangan zaman yang terjadi secara terus menerus harus pula menjadi akil balik pemikiran manusia yang komprehensif. Komprehensifitasnya terkait dengan pemaknaan setiap detail perkembangan yang terjadi. Apa yang dimaui, apa yang dikehendaki dari pendidikan yang ada dalam perkembangan yang terjadi di depana mata?
            Dunia pendidikan harus menyatakan diri sebagai sesosok pribadi yang dinamis. Pribadi yang harus senantiasa dikritisi untuk secara sadar berpartisipasi secara kritis dalam perubahan. Dunia pendidikan seharusnya mengenal dunia bukan sebagai dunia yang begitu saja diterima namun sebagai dunia yang dinamis dalam proses pembentukannya. Sebagaimana telah dinyatakan oleh Paulo Freire sang filsuf Amerika Latin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar