Selasa, 29 Januari 2013

MENYIMAK KORELASI MANUSIA - ALAM



MENYIMAK KORELASI MANUSIA – ALAM

Sentilan Awal
            Back to Nature”. Inilah seruan yang patut didengungkan dalam diri setiap pribadi. Seruan klasik ini membawa khasanah pemikiran manusia guna mengingat bahwa kita sedang bertumbuh bukan dalam lingkungan alam tetapi dalam lingkungan industri. Ada banyak diantara kita yang sudah terbius dengan mengkonsumsi minuman-minuman bermineral, makanan-makanan instant dan memanjakan diri dengan menggunakan perabotan-perabotan yang serba mewah. Kita sungguh telah melupakan dan bahkan tidak pernah lagi akan mengalami keheningan sebuah mata air, irama dan gelora aliran sungai, hilir mudiknya burung-burng pipit pada rerumputan, padi dan kupu-kupu yang berterbangan di kembang-kembang bunga yang bermekaran. Kita telah terkontaminasi oleh gaya hidup sebagai seorang konsumen yang instantis. Padahal kita semua sangat membutuhkan hembusan angin segar dan belaian udara sehat.
            Alam merupakan bahasa Tuhan dan energi kehidupan. Jiwa manusia sangatlah ditentukan oleh lingkungan alamnya. Semakin kaya pengalaman alami manusia, semakin kaya pula kerohanian dan kebatinannya sebagai dasar perbuatan-perbuatan baiknya. Namun kenyataan justru berbicara lain. Rusaknya alam justru disebabkan oleh tangan-tangan jahil manusia. Bencana banjir, erosi, tsunami dan berbagai macam bencana lainnya bila dilihat gejala dasarnya tentu kita akan bertemu dan berhadapan dengan manusia. Manusia yang seharusnya menjaga lingkungan alam, malah merusak dan membunuh keberlangsungan hidup alam semesta. 

Kesatuan Manusia dan Alam Dunia
            Sering dijumpai bahwa orang terlalu membedakan alam dunia dari manusia dan manusia dari dunia. Sebenarnya keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Hubungan ini dapat didasarkan pada beberapa kenyataan: pertama, kesatuan obyektif. Manusia hanya dapat dikenal dan menemukan identitas dirinya dalam korelasi dengan manusia lain dan dengan alam dunnia. Dan sebaliknya alam dunia hanya dapat dipahami dalam korelasinya dengan manusia. Manusia dan alam dunia saling mengandaikan dan saling mengandung. Hubungan keduanya lebih bersifat resiprokal (timbal balik). Kedua, kesatuan formal. Hanya di dalam dan melalui manusialah alam dunia dapat disentuh secara formal menurut hakekatnya. Relasi secara sadar atas otonomi dalam korelasi melalui manusia yang dapat memberikan pandangan hakiki tentang dunia.
            Dengan ini, alam dunia dapat dikatakan sebagai hasil dan kesimpulan dari suatu proses pemikiran, namun tidaklah berarti bahwa alam dunia baru mendapat realitasnya satu atau dua langkah setelah manusia bereksistensi. Alam dunia memang ditemukan dalam jalan refleksi tentang hakikat manusia, tetapi alam dunia pun telah hadir dan sama dengan manusia. Hakekat manusia meliputi alam dunia dan hakekat alam dunia merangkum manusia. Kesadaran manusia langsung meliputi dunia.
            Di lain pihak, manusia tak dapat dimusnahkan dengan alam dunia. Manusialah yang menjadi bagian integral dalam alam dunia. Manusia yang paling intens turut menentukan mutu alam dunia dan alam dunia mendapat arti yang mendalam dari adanya manusia. Manusia juga baru menjadi manusia bila ia menjadi bagian dari alam dunia. Manusia dan alam dunia mencapai suatu dimensi yang utuh dalam kesatuan mereka.

Sekilas tentang Hubungan Manusia – Alam 
            John Passmore, seorang filsuf dan sejahrawan Australia dalam bukunya, Man’s responsibility for nature, memberikan beberapa ciri pandangan mengenai hubungan manusia-alam dunia, antara lain: pertama, manusia sebagai penguasa iklim. Manusia oleh Passmore dilihat sebagai eksploitor dan penakluk yang brutal. Manusia dinilai terlalu menguras kekayaan alam dunia tanpa ada usaha untuk mengembalikan. Manusia hanya menuai tanpa menanamnya lagi. Manusia menjadi pribadi-pribadi yang konsumtif. Kedua, manusia sebagai penjaga. Gambaran manusia di sini justru kontras dengan gambaran sebelumnya. Passmore menelusuri pemikirannya sampai Plato dan filsuf-filsuf  Platonik (Iamblichus), yang mengatakan bahwa manusia dikirim ke bumi oleh Allah untuk mengurus benda-benda bumi dan untuk memperhatikan mereka atas nama Allah. Ajaran keperjagaan ini tidak hanya ada pada mazhab post Platonik tetapi terus berlanjut ke abad 17 pada kaum humanistis, yang berpendapat bahwa , tujuan penciptaan manusia agar ia menjadi wakil Allah yang agung atas langit dan bumi dalam dunia yang lebih rendah ini. Passmore sedikit ekstrim mengatakan “manusialah tuan dari dunia”. Ketiga, manusia menyempurnakan alam. Tanggung jawab manusia ialah menyempurnakan alam dengan bekerja sama dengannya. Kekereatifan manusia untuk mengaktualkan potensinya dalam menyempurnakan alam sangatlah diperlukan.
            Seperti gaya pengandaian Aristoteles, bahwa alam mencapai kualitas terbaiknya bila memenuhi kebutuhan manusia. Dengan demikian, menyempurnakan alam berarti memanusiakan manusia dan membuat alam lebih berguna bagi tujuan manusia, lebih dapat dimengerti oleh ratio, dan manusia janganlah memenuhi alam semesta hanya dengan benda di dalamnya tetapi membantu untuk menciptakan. Teilhard de Chardin mengatakan: manusia harus bekerja sama dengan dunia. Maka akan lebih indah bila gaya, “kepenjagaan” digabungkan dengan gaya “manusia menyempurnakan alam”, karena dengan demikian akan membantu kita pada pemahaman akan hubungan manusia dan alam yang lebih mendalam.

Catatan Penulis
            Suatu kondisi yang tak dapat dipungkiri bahwa alam lingkungan kita sekarang telah ternista oleh tangan-tangan manusia. Kerusakan ini mengakibatkan berbagai macam bencana bagi manusia mulai dari banjir bandang, polusi, erosi, abrasi, tsunami, keringnya sumber mata air, tanah menjadi tidak subur yang berkomplikasi pula pada bahaya kelaparan akibatnya busung lapar dan laut (sumber hidup para nelayan) pun menjadi momok. Peristiwa-peristiwa ini menggugah dan mengusik hati kita untuk bertanya, salah siapakah? apa ini kutukan dari Allah? atau memang salah manusia? Memang sulitlah bagi kita untuk menjawab perntanyaan-pertanyaan ini. Penulis berasumsi bahwa manusialah yang mesti bertanggung jawab atas persoalan-persoalan ini. Manusia sebagai wakil dari Allah telah dibebankan dengan tugas untuk menjaga dan menyempurnakan alam lingkungan hidup. Namun manusia sering mengabaikan tugas ini dan malah ia menguras alam lingkungan serta memporakporandakannya. Sebagai contoh, penebangan pohon-pohon secara liar demi pembangunan dan pembabatan dan pembakaran hutan demi ekstensifikasi pertanian.
            Bagaimanakah solusinya? Penulis dengan bertitik tolak dari uraian-uraian di atas berpendapat, mesti ada gebrakan demi peningkatan hubungan yang seimbang di antara manusia dan alam lingkungan. Dengan hubungan yang seimbang persoalan-persoalan di atas dapat teratasi. Hubungan yang seimbang ini secara singkat dapat terlihat dalam tesis Passmore yang dapat disingkatkan sebagai berikut: “Alam bertujuan memenuhi kebutuhan manusia. Maka manusia janganlah menjadi penguasa yang lalim melainkan harus menjaga dan menyempurnakannya”.

Sentilah Akhir
            Relasi antara manusia dan alam sangatlah erat. Korelasi antara manusia dan alam lebih bersifat resiprok. Adanya manusia mengandaikan adanya alam dunia. Manusia memerlukan dunia untuk bereksistensi dan alam dunia memerlukan manusia demi penyempurnaannya. Maka bila hubungan antara keduanya ada ketimpangan, efeknya pasti menjurus pada keterkoyakkan. Pada suatu bagian ketidakseimbangan inilah yang seringkali menimbulkan peristiwa-peristiwa alam yang tidak diinginkan oleh manusia sebagai partnernya. Oleh karena itu, seperti Karl Marx dan Frederich Engels mengatakan bahwa manusia adalah hasil dari lingkungan dan pendidikan revolutif yang berdaya mengubah. Penulis merasa optimis, sebagaimana karakteristik gaya nalar India bahwa manusia akan mampu membangun hubungannya yang seimbang dengan alam dalam kancah peradaban yang kian matearilstik dan konsumtif ini.

Pustaka
Bakker, Kosmologi dan Ekologi, Yogyakarta: Kanisius, 1995
Mary Evelyn Tucker & John A. Grim (ed.), Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar