MENYIMAK KORELASI
MANUSIA – ALAM
Sentilan Awal
“Back
to Nature”. Inilah seruan yang patut didengungkan dalam diri setiap
pribadi. Seruan klasik ini membawa khasanah pemikiran manusia guna mengingat
bahwa kita sedang bertumbuh bukan dalam lingkungan alam tetapi dalam lingkungan
industri. Ada banyak diantara kita yang sudah terbius dengan mengkonsumsi
minuman-minuman bermineral, makanan-makanan instant dan memanjakan diri dengan
menggunakan perabotan-perabotan yang serba mewah. Kita sungguh telah melupakan
dan bahkan tidak pernah lagi akan mengalami keheningan sebuah mata air, irama
dan gelora aliran sungai, hilir mudiknya burung-burng pipit pada rerumputan,
padi dan kupu-kupu yang berterbangan di kembang-kembang bunga yang bermekaran.
Kita telah terkontaminasi oleh gaya hidup sebagai seorang konsumen yang
instantis. Padahal kita semua sangat membutuhkan hembusan angin segar dan
belaian udara sehat.
Alam merupakan bahasa Tuhan dan
energi kehidupan. Jiwa manusia sangatlah ditentukan oleh lingkungan alamnya.
Semakin kaya pengalaman alami manusia, semakin kaya pula kerohanian dan
kebatinannya sebagai dasar perbuatan-perbuatan baiknya. Namun kenyataan justru
berbicara lain. Rusaknya alam justru disebabkan oleh tangan-tangan jahil
manusia. Bencana banjir, erosi, tsunami dan berbagai macam bencana lainnya bila
dilihat gejala dasarnya tentu kita akan bertemu dan berhadapan dengan manusia.
Manusia yang seharusnya menjaga lingkungan alam, malah merusak dan membunuh
keberlangsungan hidup alam semesta.
Kesatuan Manusia dan
Alam Dunia
Sering dijumpai bahwa orang terlalu
membedakan alam dunia dari manusia dan manusia dari dunia. Sebenarnya keduanya
memiliki hubungan yang sangat erat. Hubungan ini dapat didasarkan pada beberapa
kenyataan: pertama, kesatuan
obyektif. Manusia hanya dapat dikenal dan menemukan identitas dirinya dalam korelasi
dengan manusia lain dan dengan alam dunnia. Dan sebaliknya alam dunia hanya
dapat dipahami dalam korelasinya dengan manusia. Manusia dan alam dunia saling
mengandaikan dan saling mengandung. Hubungan keduanya lebih bersifat resiprokal
(timbal balik). Kedua, kesatuan
formal. Hanya di dalam dan melalui manusialah alam dunia dapat disentuh secara
formal menurut hakekatnya. Relasi secara sadar atas otonomi dalam korelasi
melalui manusia yang dapat memberikan pandangan hakiki tentang dunia.
Dengan ini, alam dunia dapat
dikatakan sebagai hasil dan kesimpulan dari suatu proses pemikiran, namun
tidaklah berarti bahwa alam dunia baru mendapat realitasnya satu atau dua
langkah setelah manusia bereksistensi. Alam dunia memang ditemukan dalam jalan
refleksi tentang hakikat manusia, tetapi alam dunia pun telah hadir dan sama
dengan manusia. Hakekat manusia meliputi alam dunia dan hakekat alam dunia
merangkum manusia. Kesadaran manusia langsung meliputi dunia.
Di lain pihak, manusia tak dapat
dimusnahkan dengan alam dunia. Manusialah yang menjadi bagian integral dalam
alam dunia. Manusia yang paling intens turut menentukan mutu alam dunia dan
alam dunia mendapat arti yang mendalam dari adanya manusia. Manusia juga baru
menjadi manusia bila ia menjadi bagian dari alam dunia. Manusia dan alam dunia
mencapai suatu dimensi yang utuh dalam kesatuan mereka.
Sekilas tentang
Hubungan Manusia – Alam
John Passmore, seorang filsuf dan
sejahrawan Australia dalam bukunya, Man’s
responsibility for nature, memberikan beberapa ciri pandangan mengenai
hubungan manusia-alam dunia, antara lain: pertama,
manusia sebagai penguasa iklim. Manusia oleh Passmore dilihat sebagai
eksploitor dan penakluk yang brutal. Manusia dinilai terlalu menguras kekayaan
alam dunia tanpa ada usaha untuk mengembalikan. Manusia hanya menuai tanpa
menanamnya lagi. Manusia menjadi pribadi-pribadi yang konsumtif. Kedua, manusia sebagai penjaga. Gambaran
manusia di sini justru kontras dengan gambaran sebelumnya. Passmore menelusuri
pemikirannya sampai Plato dan filsuf-filsuf
Platonik (Iamblichus), yang mengatakan bahwa manusia dikirim ke bumi
oleh Allah untuk mengurus benda-benda bumi dan untuk memperhatikan mereka atas
nama Allah. Ajaran keperjagaan ini tidak hanya ada pada mazhab post Platonik
tetapi terus berlanjut ke abad 17 pada kaum humanistis, yang berpendapat bahwa ,
tujuan penciptaan manusia agar ia menjadi wakil Allah yang agung atas langit
dan bumi dalam dunia yang lebih rendah ini. Passmore sedikit ekstrim mengatakan
“manusialah tuan dari dunia”. Ketiga, manusia menyempurnakan alam.
Tanggung jawab manusia ialah menyempurnakan alam dengan bekerja sama dengannya.
Kekereatifan manusia untuk mengaktualkan potensinya dalam menyempurnakan alam
sangatlah diperlukan.
Seperti gaya pengandaian
Aristoteles, bahwa alam mencapai kualitas terbaiknya bila memenuhi kebutuhan
manusia. Dengan demikian, menyempurnakan alam berarti memanusiakan manusia dan
membuat alam lebih berguna bagi tujuan manusia, lebih dapat dimengerti oleh
ratio, dan manusia janganlah memenuhi alam semesta hanya dengan benda di
dalamnya tetapi membantu untuk menciptakan. Teilhard de Chardin mengatakan:
manusia harus bekerja sama dengan dunia. Maka akan lebih indah bila gaya, “kepenjagaan” digabungkan dengan gaya “manusia menyempurnakan alam”, karena
dengan demikian akan membantu kita pada pemahaman akan hubungan manusia dan
alam yang lebih mendalam.
Catatan Penulis
Suatu kondisi yang tak dapat
dipungkiri bahwa alam lingkungan kita sekarang telah ternista oleh
tangan-tangan manusia. Kerusakan ini mengakibatkan berbagai macam bencana bagi
manusia mulai dari banjir bandang, polusi, erosi, abrasi, tsunami, keringnya
sumber mata air, tanah menjadi tidak subur yang berkomplikasi pula pada bahaya
kelaparan akibatnya busung lapar dan
laut (sumber hidup para nelayan) pun menjadi momok. Peristiwa-peristiwa ini
menggugah dan mengusik hati kita untuk bertanya, salah siapakah? apa ini
kutukan dari Allah? atau memang salah manusia? Memang sulitlah bagi kita untuk
menjawab perntanyaan-pertanyaan ini. Penulis berasumsi bahwa manusialah yang
mesti bertanggung jawab atas persoalan-persoalan ini. Manusia sebagai wakil
dari Allah telah dibebankan dengan tugas untuk menjaga dan menyempurnakan alam
lingkungan hidup. Namun manusia sering mengabaikan tugas ini dan malah ia
menguras alam lingkungan serta memporakporandakannya. Sebagai contoh,
penebangan pohon-pohon secara liar demi pembangunan dan pembabatan dan
pembakaran hutan demi ekstensifikasi pertanian.
Bagaimanakah solusinya? Penulis
dengan bertitik tolak dari uraian-uraian di atas berpendapat, mesti ada
gebrakan demi peningkatan hubungan yang seimbang di antara manusia dan alam
lingkungan. Dengan hubungan yang seimbang persoalan-persoalan di atas dapat
teratasi. Hubungan yang seimbang ini secara singkat dapat terlihat dalam tesis
Passmore yang dapat disingkatkan sebagai berikut: “Alam bertujuan memenuhi kebutuhan manusia. Maka manusia janganlah
menjadi penguasa yang lalim melainkan harus menjaga dan menyempurnakannya”.
Sentilah Akhir
Relasi antara manusia dan alam
sangatlah erat. Korelasi antara manusia dan alam lebih bersifat resiprok.
Adanya manusia mengandaikan adanya alam dunia. Manusia memerlukan dunia untuk
bereksistensi dan alam dunia memerlukan manusia demi penyempurnaannya. Maka
bila hubungan antara keduanya ada ketimpangan, efeknya pasti menjurus pada
keterkoyakkan. Pada suatu bagian ketidakseimbangan inilah yang seringkali
menimbulkan peristiwa-peristiwa alam yang tidak diinginkan oleh manusia sebagai
partnernya. Oleh karena itu, seperti Karl Marx dan Frederich Engels mengatakan
bahwa manusia adalah hasil dari lingkungan dan pendidikan revolutif yang
berdaya mengubah. Penulis merasa optimis, sebagaimana karakteristik gaya nalar
India bahwa manusia akan mampu membangun hubungannya yang seimbang dengan alam
dalam kancah peradaban yang kian matearilstik dan konsumtif ini.
Pustaka
Bakker,
Kosmologi dan Ekologi, Yogyakarta:
Kanisius, 1995
Mary
Evelyn Tucker & John A. Grim (ed.), Agama,
Filsafat dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar