cikal bakal rusaknya
relasi persaudaraan
Sentilan Awal
Cinta tidak sekedar kata
penghias bibir manakala terucap manis dari mulut seseorang “I Love You” kepada
kekasihnya, sahabat, teman, orang tua ataupun kepada Allah sendiri, melainkan
cinta juga merupakan suatu daya perasaan yang mampu menciptakan kemungkinan lahirnya
suatu relasi atau persekutuan antar manusia. Seperti yang pernah dikatakan oleh
Erich Fromm, bahwa cinta merupakan suatu daya yang aktif dalam diri manusia
yaitu suatu daya yang aktif dalam diri manusia, yaitu suatu daya yang mendobrak
dinding pemisah antara seorang individu dengan orang lain, sekaligus yang
mempersatukan keduanya. Persoalannya, bagaimana cinta itu dipahami manakala
telah dicemari oleh kepentingan diri yang ekstrem (egoisme), sehingga cinta
tidak hanya dialami sebagai sesuatu yang menggairahkan dan membahagiakan,
melainkan sebaliknya sebagai sesuatu yang menjengkelkan dan merusak.
Gagasan dalam tulisan ini
tidak dimaksudkan untuk menguraikan apa itu cinta, melainkan menghadirkan suatu
pendapat yang sedikit mengkritisi realitas pergaulan kita dalam membangun
kebersamaan yang tak jarang dibangun atas dasar manipulasi, yang disadari atau
tidak bersumber pada egosime kita.
Egoisme; Sebuah Pemiskinan Terhadap
Diri
Sudah lazim orang
menyamakan egosime dengan cinta diri sendiri sehingga orang yang cinta terhadap
dirinya sendiri dipandang sebagai orang yang egois. Berangkat dari hal ini,
muncul suatu pertanyaan, “Apakah dengan demikian cinta diri dipandang sebagai
suatu penyimpangan? Lalu bagaimana hal ini dipahami apabila dikonfrontasikan dengan
seruan Injil, cintailah sesamamu sama
seperti engkau mencintai dirimu sendiri?”
Nampak dalam Injil, cinta
terhadap diri sendiri merupakan paradigma terhadap cinta sesama. Ini berarti,
cinta terhadap diri sendiri bukanlah sebuah penyimpangan karena dibangun diatas
suatu kebenaran bahwa mencintai sesama merupakan suatu kebajikan dengan alasan
bahwa diri (saya) juga adalah manusia. Hal ini diperkuat oleh kebenaran bahwa
tidak ada konsep tentang manusia, dimana saya sendiri tidak termasuk di
dalamnya. Karena itu, cinta kepada diri selalu dibarengi dengan cinta kepada
sesama. Dengannya egoisme diperlawankan dengan cinta diri, dimana egoisme lebih
dipahami sebagai suatu sikap yang rakus terhadap orang lain, dalam arti bahwa
orang yang egois hanya senang untuk menerima ketimbang memberi, sehingga orang
yang egois adalah orang yang tidak mampu “membagikan dirinya” kepada orang
lain. Dalam arti seperti ini, orang yang egois dapat dikatakan sebagai orang
yang miskin, tidak produktif dan tidak mampu mewujudkan potensi dirinya,
sehingga orang egois merupakan diri yang kosong dan jiwa yang hampa sebab tidak
ada kecukupan di dalam dirinya. Berdasarkan hal diatas, maka orang yang egois
tidak mampu membangun persahabatan sejati dengan orang lain, sebaliknya tidak
ada keuntungan yang besar yang dapat diperoleh dalam relasi dengan orang egois.
Hal ini dibenarkan dalam
realitas yang merupakan suatu kepastian bahwa orang yang egois tak jarang
diasingkan oleh sesamanya karena dilihat sebagai parasit kehidupan.
Persoalannya sekarang adalah apakah orang yang egois tidak dapat mencintai dan
membangun persahabatan dengan sesamanya? Tidak dapat disangkali bahwa orang
yang egois pun mampu mencintai dan mampu membangun persahabatan, namun cinta
dan persahabatannya merupakan suatu manipulasi dari egoismenya sehingga dapat
dipastikan tidak dapat terwujud cinta dan persahabatan yang sejati.
Egoisme di Balik Topeng
Persahabatan
Dalam pengalaman kita baik lansung
ataupun tidak, muncul banyak aksi protes karena banyaknya lulusan tes CPNS yang
diklaim sebagai lulusan tidak secara obyektif melainkan karena hubungan
subyektif yang dibangunnya dengan orang-orang yang dapat menjamin ataupun yang
dapat merekayasa kelulusan. Banyak orang pula yang memperoleh pekerjaan secara
gampang karena memiliki sahabat atau kenalannya, tak jarang pula administrasi
dapat diurus dengan lancer apabila kita memiliki kenalan dalam suatu instansi,
kantor dan lain sebagainya. Singkatnya, banyak urusan dapat beres berkat
bantuan dari sahabat atau kenalan kita.
Beberapa contoh di atas
menggambarkan paling kurang penyimpangan yang sedang terjadi dalam menghayati
relasi persahabatan sekarang ini. Praktek atau kebiasaan semacam itu
membangkitkan suatu pertanyaan mendasar; sungguhkah ini yang dipahami sebagai
makna atau tujuan dari persahabatan? Jika jawabannya demikian, maka hemat saya
persahabatan hanya dijadikan sebagai batu loncatan untuk memperoleh kemudahan,
dan hal ini dibenarkan oleh realitas,
Hubungan persahabatan yang terjadi
antar manusia kerap dikondisikan oleh kepentingan pribadi. Terhadap hal ini,
filsuf klasik Aristoteles telah memberikan kontribusi pemikiran yang cukup
berarti bagi kita dalam mengkritisi relasi persahabatan yang dangkal yang
terjadi dalam dunia kontemporer ini. Baginya persahabatan yang demikian
merupakan persahabatan yang kebetulan, dimana orang bersahabat dengan orang
lain demi kesenangan atau keuntungan yang dapat diperolehnya dari relasi itu. Dengan
demikian, sudah dapat kita pastikan bahwa obyek cintanya bukan pada pribadi
melainkan keuntungan dan kesenangan yang diperolehnya. Sikap seperti ini
menunjukkan kualitas persahabatan yang dibangun atas dasar relasi personal,
melainkan relasi ekonomis dengan semboyannya: “He becomes my friend because he can gives me something”, sehingga
sahabat dari orang-orang ini bukan diri temannya per se (apa adanya),
melainkan apa yang dapat diberikan oleh temannya. Karena itu, persahabatan
jenis ini hanya berlangsung selama seseorang menguntungkan dan menyenangkan.
Model persahabatan ini hemat saya
paling berkembang dalam kehidupan komunitas maupun masyarakat kita sekarang
ini, yang mana tidak kita sadari telah mendorong rasa persaudaraan dan kesatuan
kita. Akibatnya lahir sikap pasif dan matinya daya kreatifitas, karena
masing-masing individu lebih mementingkan dirinya sendiri. Disinilah egoisme
merongrong keutuhan hidup sebuah komunitas.
Egoisme dalam Relasi dengan Allah
Penghayatan relasi yang salah
semacam itu pun telah merasuk dalam kehidupan spiritual, dimana telah membentuk
pola laku seseorang dalam membangun relasinya dengan Tuhan. Semangat
persahabatan yang didasarkan pada keuntungan dan kesenangan tidak saja terjadi
dalam relasi antar manusia, melainkan juga relasi manusia dengan Tuhannya.
Tuhan tidak lagi diimani sebagai Tuhan menurut hakekat-Nya, melainkan mereduksi
Tuhan sekedar sebagai “penghibur”. Akibatnya, ketika manusia telah mendapatkan
penghiburan ala duniawi, ia perlahan-lahan melupakan Tuhan. Tuhan hanya
diingatnya manakala ia tertimpa kemalangan dan dukacita, sehingga Tuhan hanya
dijadikan sebagai pelipur lara. Bukankah semangat ini yang sedang merongrong
kehidupan spiritual kita? Pertanyaan ini tidak sekedar sebuah pertanyaan
reflektif tapi sekaligus sebuah afirmasi terhadap kenyataan yang sedang
terjadi, walau tidak kasat mata.
Akhirnya, perlu kita sadari bahwa
semua itu berakar dari egoism yang tak teratasi. Akibatnya membentuk pola laku
kita yang salah dalam menghayati sebuah relasi dengan sesama dan Tuhan. Hal ini
hanya dapat diatasi manakala seseorang berani untuk keluar dari kungkungan
egoismenya dengan belajar membuka diri bagi orang lain. Dengannya saya yakin
orang akan mampu mencintai dengan tulus dan mampu membangun persahabatan yang
sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar