Minggu, 14 April 2013

KEEMPAT SANGKAKALA YANG PERTAMA



    KEEMPAT SANGKAKALA YANG PERTAMA
                                                             
                                                           
  

      Kitab Wahyu secara praksis dalam dunia saat ini, dikatakan dapat juga diaplikasikan secara nyata karena berbicara mengenai masalah-masalah serius yang dialami oleh manusia zaman ini. Kitab Wahyu terkhusus dalam 8: 6-13, mengangkat persoalan yang selalu menjadi hal negatif dalam diri manusia. Pada perikope 8:6-13, terdapat berbagai elemen yang menjadi kajian untuk melihat sejauh mana manusia telah berbuat dosa di hadapan Allah. Pernyataan ini bertolak dari judul sederhana yang diangkat dalam topik ini. Sangkakala yang telah dibunyikan oleh para malaikat menyatakan sebuah pesan. Kita dapat memahami bahwa malaikat adalah sosok yang membunyikan sangkakala tersebut. Bunyi sangkakala dari para malaikat itu sebenarnya merupakan perwakilan dari peringatan di surga. Allah telah mengetahui segala yang diperbuat oleh umat-Nya. Unsur-unsur teks yang terdapat di dalamnya meliputi, malaikat sebagai pembawa pesan. Unsur lainnya adalah sangkakala, dan segala benda yang ada di bumi (semisal, pohon, api, darah dan sebagainya). Unsur-unsur teks ini menggambarkan dua hal. Pertama: Allah telah melihat segala perbuatan manusia. Allah telah mengetahui apa yang menjadi hal ikhwal perbuatan manusia. Pernyataan ini merujuk pada penglihatan Ilahi dalam Allah sendiri. Kedua: unsur dunia yang ditampilkan, sebagai bagian dari perbuatan manusia berdosa.
     Struktur teks dari perikope ini, bagi saya pribadi terbagi dalam dua bagian besar: Pertama: penulis kitab Wahyu menggunakan kata sepertiga untuk menggambarkan hanya sebagian yang telah dihancurkan dari unsur duniawi. Penulis kitab Wahyu sebenarnya memiliki maksud tersembunyi dengan penggunaan kata tersebut. Saya berpandangan bahwa kata sepertiga  dalam kitab wahyu 8:6-13 ini adalah sebuah topia bagi manusia yang ingin berbalik pada Allah. Artinya bahwa masih ada pengharapan baru bagi manusia yang hendak bertobat. Hal ini saya pahami dari penggunaan kata secara berulang-ulang dari penulis kitab wahyu atas kata sepertiga. Kata sepertiga menyatakan ketidaktotalan. Sepertiga melambangkan sebagian dari seluruh yang telah dijamah dan ini terkait dengan kehancuran tidak total dari hidup manusia yang berdosa. Ayat terakhir membuktikan (ayat 13) harapan bahwa manusia dapat kembali bertobat. Kedua: Kitab Wahyu untuk perikope ini berbicara secara khusus tentang kejatuhan manusia dalam dosa. Manusia yang berdosa tidak serta merta membuat Allah menjadi murka dan meninggalkan mereka. Allah tetap setia dan menanti kedatangan mereka (baca: bertobat). Allah tetap memberikan pengampunan kepada mereka.

        Keempat sangkakala pertama digambarkan dalam Wahyu 8:6-13. sangkakala adalah “isi” dari ketujuh meterai (Wahyu 8:1-5). Sangkakala pertama mengakibatkan hujan es dan api yang menghancurkan kebanyakan tanaman dalam dunia (Wahyu 8:7). Sangkakala kedua dari ketujuh sangkakala mengakibatkan apa yang kelihatannya merupakan meteor yang jatuh ke dalam laut dan mengakibatkan musnahnya kebanyakan makhluk hidup dalam laut (Wahyu 8:8-9). Sangkakala ketiga sama dengan sangkakala kedua kecuali bahwa dampaknya mempengaruhi danau-danau dan sungai-sungai dan bukannya lautan (Wahyu 8:10-11). Sangkakala keempat mengakibatkan matahari dan bulan menjadi gelap (Wahyu 8:12). Semuanya adalah gambaran dari hukuman Allah atas bumi.           






       Empat sangkakala pertama mengangkat hal ikhwal tengan pemaknaan atas Hujan es yang melambangkan hukuman dan murka Allah (bdk. Yesaya 28:2-17). Api (Ulangan 32:22). Darah mencerminkan kematian. Kematian moral. Kematian rohani. Kematian fisik. Manusia telah mengalami kematian untuk aspek-aspek ini. Laut adalah keresahan dari kebanyakan umat manusia (Daniel 7:2-3). Pohon-pohon mewakili kebanggaan dan kehebatan umat manusia. manusia yang menyombongkan diri di hadapan kemuliaan Allah (Daniel 4:20-22). Rumput dipakai untuk memaknai manusia secara umum, (Yesaya 46:7). Apsintus melambangkan sebuah tanaman (pohon) yang pahit. Kepahitan pohon tersebut mengindikasikan kedukaan manusia yang mendalam. Kedukaan manusia diakibatkan oleh dosa manusia yang semakin besar di hadapan Allah. Manusia semakin berada dan menuju pada puncak kedosaannya. Setiap sangkakala yang dibunyikan menunjukan bahwa manusia telah berada dan beralih dari kebaikan menuju kedosaan yang besar. Pada penghujung teks yang memuat tentang bunyi sangkakala ke empat, semakin menunjukan karakteristik manusia yang susah untuk bertobat. Hal ini digambarkan dengan adanya kegelapan yang membawa kata sepertiga untuk matahari, bulan dan bintang. Hal senada juga diperuntukan bagi kegelapan yang melanda siang dan malam hari dalam ukuran sepertiga.
      Runutan logika yang hendak ditampilkan adalah tentang dimensi kedosaan manusia yang semakin tidak dapat dibendung. Sepertiga dari matahari, siang dan malam telah menjadi gelap tidak serta merta menyurutkan kebenaran yang hendak diwartakan. Allah adalah kebenaran yang mampu menghalau kegelapan dosa manusia. Kegelapan tidak mampu menutupi seluruh bumi karena kebenaran akan menang atasnya. Allah tetap memberikan kesempatan kepada kita untuk bertobat dan hidup secara benar. Pada ayat 13 (ayat yang terakhir dalam perikope ini) mau menyatakan bahwa sebelum hukuman selanjutnya dijatuhkan yakni dengan ditiupnya sangkakala yang lain, ada sebuah peringatan besar yang disampaikan ke seluruh bumi. Seekor burung Nazar di dalam teks ini menandaskan tentang tanda penghukuman. Burung Nasar tersebut berkata: “Celaka, celaka, celakalah mereka yang diam di atas bumi.” Ini adalah sebuah kemurahan dari Allah. Saat kita melihat penghukuman sebelumnya, hanya menghancurkan sepertiga bagian bumi. Itu berarti Allah tetap memberikan peringatan agar manusia bertobat sebelum penghukuman Allah yang mengerikan ini dijatuhkan atas mereka, Allah sungguh menginginkan kita bertobat.  Sebelum Allah melakukan sesuatu di dalam penghukuman-Nya, Dia selalu memberi peringatan. Di sini tampak dimensi misioner dari kitab Wahyu. Pengulangan kata sepertiga dan celaka menyatakan ekonomi keselamatan manusia yang selalu berasal dari Allah sendiri.
      Seruan burung Nazar (Rajawali dalam terjemahan Indonesianya) dalam ayat 13 untuk kata celaka diulang sebanyak 3 kali.  Dua kata dalam bahasa Yunani yang dapat dipakai untuk menggambarkan maksud penulis kitab Wahyu terkait dengan pengulangan kata celaka ini merujuk pada dua kelompok orang. Pertama adalah paroikeo. Paroikeo berarti  untuk kelompok orang yang berdiam sebagai “pengembara” di dunia. Kedua: adalah katoikeo yang berarti untuk sekelompok orang yang “tinggal menetap.” “Celaka bagi orang-orang yang telah kehilangan visi mereka tentang surga.” Hal ini berefek pada kelompok katoikeo. Mereka bukan sebagai pengembara. Mereka tidak lagi memiliki Allah di dalam hati mereka. Utopia mereka yakni berada di dunia ini. Firdaus mereka berada di dunia ini. Pengharapan mereka berada di dunia ini. Hidup mereka berada di dunia ini.  Mereka tidak lagi merasakan gaya tarik dari atas yakni dari Allah sendiri. Allah yang sejati tidak ada di dalam hati mereka. Celakalah, kata Tuhan bagi katoikeo, orang-orang yang membangun setiap pengharapan dan mimpi mereka di dunia ini dan mereka bukan lagi pengembara dari dunia ini yang menuju dunia yang akan datang.
     Pesan pastoral yang dapat dimaknai dari kenyataan perikope ini yakni terkait dengan Allah tidak akan meninggalkan umat-Nya, sekalipun mereka telah berdosa. Manusia bisa saja berpaling dari Allah, namun Allah tidaklah demikian. Allah mencintai umat-Nya. Seruan celaka sebanyak tiga kali adalah seruan peringatan dari Allah untuk manusia. Hal ini terkait dengan 3 sangkakala yang akan dibunyikan. Kita, umat ciptaan Allah, sepantasnya bersyukur karena Allah telah memiliki kita. Allah yang penuh belas kasih. Untuk itu, kita pun diharapkan dapat mengalami kesadaran dari dalam diri untuk bertobat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar