Minggu, 29 April 2012


KASIH SAYANG:
ANTARA KATA & LAKU

            Generasi abad ini sedang diajak untuk mengikuti lomba “pamer gengsi”. Finalnya adalah untuk “melebihi” atau sekurang-kurangnya “menyaingi” orang yang ada di sekitarnya. Menarik! Namun hal tersebut bukanlah suatu kebanggaan. Di balik pamor itu tersulam noktah-noktah hitam seperti nila yang siap merusak susu sebelangga. Egoisme, iri hati dam puas diri merebak ketika ajakan berlomba mengusiknya. Semua terjadi begitu saja dan tanpa disadari telah mengorbankan diri sendiri dan sesama. Bahkan, orang yang paling dicintai pun, kadang harus dikorbankan.
            Memang benar, setiap orang berhak mewujudkonkritkan keinginannya. Hanya saja kebenaran itu perlu “dikurangi” nilainya ketika keberadaan orang lain pun turut diperhitungkan. Keberadaan orang lain turut menentukan keberadaanku sebagai manusia. Maka, hendaknya tindakan itu disertai dengan pengakuan akan penerimaan kekurangan diri dan kelebihan diri, juga kekurangan dan kelebihan dari orang lain.
            Winston Churchill pernah berujar: “kita mendapat penghidupan dengan apa yang kita peroleh, tetapi kita menganyam kehidupan dengan apa yang kita berikan.” Kata-kata ini menegaskan bahwa hidup ini akan sungguh-sungguh terasa bila kita mendapat apa yang kita inginkan. Tetapi seperti kata orang, segala sesuatu di bawah kolong langit tidak pernah abadi. Semua yang kita peroleh di bawah sinar matahari tidak akan bertahan lama. Hanyalah kefanaan belaka.
            Lantas, apa yang harus kita lakukan dengan semua yang bersifat fana ini?
            Hidup yang kita jalani dengan segala sesuatu yang kita peroleh darinya, adalah sebuah hadiah istimewa dari Sang Empunya hidup dan kehidupan. Maka hendaknya jangan pernah ada kata sombong dan bangga dengan semuanya. Kalau kita berpikir untuk mengolah apa yang kita peroleh dari hidup ini, berarti kita sedang berusaha menganyam kehidupan ini. Caranya telah diberikan oleh Winston Churchill sendiri, yaitu: “Berikan apa yang telah kita peroleh kepada yang membutuhkan, jika demikian itu pertanda kita telah, sedang dan akan mewujud-konkritkan apa yang dinamakan kasih sayang.” Sebentuk kasih sayang akan membantu mereka yang secara lahiriah maupun batiniah mengalami kekurangan.
            Namun, muncul pertanyaan lebih lanjut, “Apakah ungkapan kasih sayang itu adalah ungkapan hati atau ungkapan bibir belaka yang disertai intensi-intensi khusus, semisal supaya dikatakan orang baik, ataukah “Do ut des?” (saya memberi supaya engkau memberi).
            Pengungkapan kasih sayang kepada orang lain seharusnya bersumber dari hati, bukan sebatas bibir saja. Ungkapan kasih sayang dari kedalaman hati bermaksud baik, sedangkan yang berasal dari bibir saja, biasanya dibarengi dengan beragam intense. Dan terlebih intensinya bersifat menghancurkan, bukan melengkapi satu sama lain. Mengapa demikian? Kita perlu untuk berkaca. Sering hal kecil, yang hampir tak pernah disadari pun ternyata menjadi biang utama sebuah kehancuran. Semisal ketika seseorang belajar mendeskripsikan kasih sayang sebagai suatu kebaikan dan menjalani hidup dengan cara yang diterima orang lain, ia berpikir bahwa karyanya benar-benar murni sebuah pelayanan yang penuh kasih. Namun tetap saja, bagaimanapun juga itu merupakan kepentingan diri yang disembunyikan: mencuat sebagai sebentuk kemurahan hati.
            Ungkapan kasih sayang yang keluar dari hati, direalisasikan tanpa sepengetahuan tangan kiri dan tanpa perhitungan ekonomis dan psikologis. Bukan do ut des melainkan kesungguhan tak bersyarat. Bentuk ungkapan kasih sayang ini terlihat dengan jelas lewat ungkapan kasih sayang Mother Theresa kepada orang-orang di sekitarnya. Ia rela meninggalkan kenyamanan biara. Bukan untuk dikatakan baik. Bukan juga untuk mencari popularitas. Tekadnya untuk meninggalkan biara adalah demi duka dan tangis orang-orang Calcutta di balik tembok biara.
            Ungkapan kasih sayang yang keluar dari bibir belaka adalah ungkapan yang sarat dengan intense-intensi tertentu. Intense destruktif, merugikan si penerima dan menguntungkan si pengungkap. Opportunist. Tujuannya bersifat sepihak, hanya untuk mencari perhatian; supaya menjadi terkenal, dikatakan baik hati, dengan dalih perhatian untuk sesame dan ingin beramal kepada Tuhan. Semisal modus tiap pelajar yang membalas kasih sayang orangtuanya dengan merekayasa nilai lewat menyontek.
            A. A. Navis menulis dalam novel Robohnya Surau Kami:
            “Ya Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu, bahkan dalam kasih-Mu ketika aku sakit, nama-Mu selalu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu, aku selalu membaca kitab-Mu, tapi yang tak aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah yang maha tahu.”
            Hidup orang ini begitu saleh bahkan seluruh hidupnya ia korbankan untuk Tuhan, tapi mengapa ia harus dikirim oleh Tuhan ke neraka dan bukan ke surga? Jawabannya karena kasih sayangnya untuk Tuhan ternyata bertujuan untuk mendapatkan perhatian Tuhan. A. A. Navis melanjutkan:
            “…..dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena ibadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang…..”
            Tuhan menurut A. A. Navis adalah Dia yang tidak gila pujian. Ia tidak ingin dipuji terus menerus sampai mengabaikan sesama di sekitar yang menderita. Ternyata yang harus dipentingkan adalah memberikan kasih sayang kepada sesame karena merekalah yang menghadirkan Tuhan bagi kehidupan ini. Kedua bentuk kasih sayang selalu menjadi teman dalam keseharian. Ungkapan kasih sayang dari kedalaman hati dan ungkapan kasih sayang dari bibir. Semua memiliki guna dalam kehidupan. Yang dipentingkan bagi kehidupan ini adalah keberanian untuk memilih. Memilih: pengungkapan kasih sayang dari kedalaman hati seperti Mother Theresa yang betul-betul berasal dari hati, atau ungkapan kasih sayang dari bibir belaka seperti yang dilakukan oleh mahasiswa itu dan Saleh dalam cerita A. A. Navis.
            Hendaknya sebagai manusia berakhlak, yang harus dipentingkan adalah ungkapan dari kedalaman hati, karena di dunia ini semua manusia berkaum, semuanya bersaudara. Di sini tentunya dibutuhkan sikap saling (saling mempedulikan, saling memperdayakan, -bukan sebatas pemenuhan kebutuhan material-), pembangunan martabat, persaudaraan sejati dan lebih lagi untuk membangun persaudaraan dengan Allah. Hingga ujung-ujungnya tercapailah kesejahteraan yang padanya disebut dengan kesejatian hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar