Minggu, 29 April 2012

Negara sebagai Penjamin HAM Perspektif John Locke


Negara Sebagai Penjamin HAM
Perspektif John Locke
(By: Albertho Pelangi Mangu, S.Fil)


Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk lain. Manusia dibekali akal pikiran sehingga dengan potensi itu dapat mencipta, berkarya serta mengolah alam yang ada demi kesejahteraan hidupnya. Karena kedudukannya yang tinggi tersebut, dalam kehidupan sehari-hari manusia berbeda dengan makhluk lain. Atas dasar keadaan demikian, manusia dilekati hak yang bersifat istimewa yang disebut Hak Asasi Manusia (HAM).
HAM merupakan suatu konsep etika politik modern dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Gagasan ini membawa tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya manusia. Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau “dilemahkan” dari tindakan semena-mena yang biasanya datang dari mereka yang kuat dan berkuasa. Karena itu, esensi dari konsep HAM adalah penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa ada diskriminasi berdasarkan apapun dan demi alasan apapun; serta pengakuan terhadap martabat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi.

Hak Asasi Manusia
Menurut Ali Mudhofir dalam Kamus Istilah Filsafat dan Ilmu, HAM diartikan sebagai hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawa bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan menurut Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pasal 1, “semua manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat serta hak-hak. Mereka dikaruniai akal budi dan suara hati dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.” Hal ini sejalan dengan pengertian yang mengatakan bahwa HAM adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, HAM juga diartikan sebagai hak paling pokok pada setiap orang untuk bebas hidup dan hak untuk mendapat perlindungan.
HAM itu melekat pada kodrat manusia dan dimiliki oleh setiap insan sebagai manusia, dimana pun dan kapan pun ia berada. HAM itu merupakan hak-hak dasar (pokok) yang dibawa oleh manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan. Kesadaran akan pentingnya HAM terlihat sangat menonjol dan mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-20 dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya, dimana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) di Paris pada Desember 1948. Peristiwa bersejarah ini merupakan puncak perjuangan yang sangat panjang sejak peristiwa pertama adanya pengakuan secara formal atas HAM pada tahun 1215 di Inggris yakni adanya Magna Charta Libertatum yang melarang penahanan, penghukuman, dan perampasan benda dengan sewenang-wenang. Piagam dasar ini yang melahirkan banyak dokumen menyangkut HAM selanjutnya.

Negara sebagai Penjamin HAM Menurut John Locke
Pembicaraan mengenai HAM tentunya tidak bisa dilepas pisahkan dari negara, karena individu-individu itu bernaung dalam suatu wilayah pemerintahan. Menurut Plato, negara itu didirikan oleh individu-individu yang membentuk suatu kelompok masyarakat karena adanya kebutuhan yang beraneka ragam. Oleh karena itu, menurut Plato negara itu dipegang oleh rakyat dan kepentingan rakyatlah yang harus diutamakan. Dengan demikian, Plato sebenarnya mau mengatakan bahwa negara perlu menjamin hak-hak dari individu-individu itu. Pemikiran ini kemudian dilanjutkan oleh muridnya Aristoteles, juga bagi para filsuf selanjutnya.
Konsep mengenai HAM memasuki teori dan praktik politik utama di Eropa pada abad ke-17 oleh John Locke. Namun dapat dikatakan bahwa ide mengenai HAM ini secara tidak langsung telah dibicarakan oleh para filsuf sebelumnya, yakni Plato, Aristoteles, Epicurus, Marsilius, Althusius, hingga Grotius, yang secara garis besar mengatakan bahwa negara itu berdiri karena adanya kesepakatan atau perjanjian antara individu-individu. Dan negara bertugas untuk melindungi dan lebih mementingkan kepentingan individu-individu itu sendiri. Dengan demikian, hal ini menyangkut  hak-hak dari individu-individu itu.
Dalam Second Treatises of Government, John Locke menyajikan teori pertama yang betul-betul berkembang mengenai hak-hak asasi manusia. Teori John Locke ini mulai dengan suatu “keadaan alamiah”. Dalam keadaan alamiah, setiap individu memiliki hak-hak kodrati yang sama akan kehidupan, kebebasan, dan harta milik. Keadaan alamiah ini adalah keadaan kebebasan, tetapi bukan keadaan di mana orang berbuat sekehendaknya. Hal ini didasarkan pada pemikirannya tentang manusia yakni manusia sebagai makhluk yang dilahirkan bebas dan setara walaupun kemampuan fisik maupun intelektualnya berbeda-beda. Di samping melihat kesetaraan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, Locke juga tidak menutup mata pada fakta bahwa manusia itu berbeda, misalnya yang satu lebih kuat daripada yang lainnya. Menurutnya, hal tersebut merupakan bagian dari kodrat manusia. Dengan kualitas yang dimilikinya masing-masing, setiap manusia memperoleh hak milik. Hak milik merupakan kodrat alamiah manusia, bagian dari manusia, dan bagian dari penegasan diri manusia.
Namun karena tidak adanya pemerintahan, hak-hak ini sedikit saja nilainya. Hak-hak itu hampir mustahil dilindungi dengan cara tindakan individu, dan pertengkaran-pertengkaran mengenai hak-hak itu sendiri merupakan penyebab dari banyaknya konflik yang hebat. Keadaan seperti inilah yang disebut Locke sebagai “keadaan perang”. Dengan demikian, kondisi seperti ini tidak memadai untuk menjamin hak hidup, hak kebebasan dan hak milik. Kesulitan untuk mengatur hak-hak itu membuat individu-individu itu mulai melakukan suatu perjanjian atau kontrak untuk membangun masyarakat yang bebas dan juga dapat menjamin hak-hak dari individu-individu yang melakukan perjanjian itu dalam suatu pemerintahan atau negara.
Pemerintah menurut Locke, didasarkan pada suatu kontrak sosial antara penguasa dengan mereka yang dikuasainya. Rakyat wajib tunduk hanya apabila pemerintah itu menjamin dan melindungi hak-hak asasi mereka, yang secara moral lebih penting dan mengatasi tuntutan-tuntutan dan kepentingan-kepentingan pemerintah tersebut. Pemerintah itu sah sejauh apabila pemerintah tersebut secara sistematis melindungi dan memajukan pemanfaatan hak-hak asasi manusia oleh rakyatnya.
            Pemikiran Locke tentang HAM sebenarnya berhubungan dengan hak politik rakyat. Disini rakyat harus dijamin. Dan untuk menjamin hak politik rakyat maka tidak boleh ada penguasa yang absolut. Kekuasaan yang tertinggi terletak pada masyarakat politik, bukan pada penguasa tetapi pada rakyat. Pemikiran Locke ini berdasarkan pengandaian antropologis yang mendasari pemikiran Locke yakni “setiap manusia dilahirkan bebas dan setara.” Maka setiap manusia mempunyai hak-hak yang tidak dapat dilepaskan dari dirinya. Hak-hak tersebut adalah hak untuk hidup, kebebasan, dan hak milik. Yang menjadi perhatian Locke adalah hak milik, dimana menurut Locke “setiap manusia memiliki dirinya sendiri sebagai miliknya. Tak seorang pun memiliki hak atas pribadi orang lain kecuali pemiliknya sendiri. Dan tujuan untuk mengadakan kontrak sosial dimaksudkan untuk menjamin dan melindungi keutuhan hak setiap individu yang berada di dalamnya atau rakyat. Karena demi tujuan inilah setiap orang mau melepaskan kebebasan yang mereka miliki di dalam keadaan alamiah. Dengan demikian, sebenarnya Locke mau mengatakan bahwa tugas dari negara adalah untuk menjamin dan melindungi hak-hak asasi dari rakyatnya. Negara diciptakan untuk menjadi penjamin hak-hak asasi manusia.
Karena kekuasaan itu berasal dari rakyat, maka ia tidak bersifat mutlak. Di sini, kekuasaan negara terbatas. Negara hanya dibenarkan untuk bertindak dan berbuat sejauh bertujuan untuk melaksanakan tujuan yang dikehendaki rakyat. Dengan adanya dominasi negara yang domain dalam mengatur kehidupan rakyat, menurut Locke, hanya akan menyebabkan hilangnya hak-hak rakyat. Dan apabila negara atau pemerintah telah menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat, maka rakyat dapat memberikan perlawanan atau pemberontakan. Sebab dengan menyalahgunakan kekuasaannya, yakni melawan atau merampas hak asasi berdasarkan hukum kodrat dari setiap orang (rakyat), berarti raja telah menyatakan perang. Oleh karena itu, rakyat berhak untuk membela diri dengan mengadakan perlawanan.
Locke mengatakan bahwa demi mencegah timbulnya negara absolute dan terjaminnya hak asasi manusia, diperlukan konstitusi dalam membatasi kekuasaan negara. Selain itu, Locke juga menegaskan tentang pentingnya memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yaitu kekuasaan legislatif (kekuasaan pembuat undang-undang dan peraturan hukum), kekuasaan eksekutif  (pelaksana undang-undang), dan kekuasaan federatif (Kekuasaan ini mengandung wewenang untuk mengambil keputusan menyatakan perang dan mengadakan perdamaian, juga mengadakan hubungan dengan negara lain). Undang-undang yang dibuat oleh legislatif bersifat mengikat eksekutif atau pemerintah. Pelaksanaan kekuasaan eksekutif tidak boleh menyimpang dari undang-undang yang telah digariskan oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan untuk kekuasaan federatif, demi alasan praktis, maka Locke memasukkan kekuasaan federatif tadi ke dalam kekuasaan eksekutif. Di samping itu, Locke juga menekankan bahwa sebaiknya negara jangan teralu ikut campur dalam hal kebebasan menjalankan ibadah agama bagi warga negaranya. Dengan itu, Locke memberikan kebebasan bagi warga sipil untuk menganut agama sesuai dengan keyakinannya. Maka, menjadi jelaslah, negara didirikan untuk menjamin hak-hak asasi warga negaranya (hak-hak asasi manusia).

Penutup
            Negara yang baik adalah negara yang menjamin hak-hak asasi manusia. Kewajiban negara untuk memberikan perlindungan hukum tehadap korban pelanggaran HAM merupakan pelaksanaan prinsip perlindungan hukum bagi rakyat yang didasari oleh prinsip negara hukum. Indonesia sebagai negara hukum, juga menganut konsep bahwa negara perlu dan harus menjamin hak-hak asasi manusia. Konsep negara sebagai penjamin HAM di Indonesia, secara garis besar tertuang dalam UUD 1945. Hal ini dapat dilihat dalam pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh UUD 1945. Walaupun begitu, di Indonesia masih saja tejadi pelanggaran HAM dimana-mana dan penyelesaiannya pun masih tergantung atau belum jelas. Oleh karena itu, sebagai warga negara Indonesia, kita perlu bersikap. Kita harus selalu mengawasi jalannya pemerintahan demi terciptanya keadilan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.



Daftar Pustaka:
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008)
Ceunfin, Frans (ed.), Hak-Hak Asasi Manusia, Pendasaran dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik (Jilid I), (Maumere, Ledalero, 2004)
Suseno, Franz Magnis, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia,)
Wattimena,  Reza A. A., Melampaui Negara Hukum Klasik Locke-Rousseau-Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 2007)
Widyamarta, A., Kuasa Itu Milik Rakyat, (Yogyakarta: Kanisius, 2002)
Locke, John, An Essay Concerning Human Understanding, Vol I., (Collated and annotated by Alexander Campbell Fraser), (New York, Dover Publications, Inc., 1894)
_________, Second Treatises of Government., (Digitized by Dave Gowan),   diunggah dari: http://oregonstate.edu/instruct/phl302/texts/locke/locke2/locke2nd-a.html#CHAP.%20II.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar