Rabu, 25 April 2012

SALUT LINGKUNGAN


SALUT LINGKUNGAN:
Ekospiritualitas dan Kesejatian Hidup

DUNIA sedang mempersoalkan kemerosotan lingkungan hidup. Itu nyata!  Bahkan, boleh dikata, persoalan ini cenderung bernada triumfalistik. Selalu terdapat pernyataan: “Dahulu begitu baik ... sekarang begini buruk!” Keagungan dan harmoni lingkungan hidup rupanya jauh lebih baik di zaman kakek-nenek kita. Kitab Suci sendiri mulai dengan tesis agung yang senada: Pada mulanya ... (Bdk Kej 1:1-2:25) akan tetapi oleh ulah manusia, maka keselarasan menghilang, “karena engkau berbuat demikian, ... (Kej. 3:14). Mereka yang cenderung  apatis mengatakan bahwa sedemikianlah kehendak Pencipta. Bukankah bumi kita sudah uzur? Bukankah Kitab Suci sendiri menegaskan akan tiba suatu saat di mana terjadi kekacauan kosmik, dan justru kita sedang berada di dalam proses menuju “akhir dunia” tersebut?
Bagaimanapun juga, tanpa mengabaikan kenyataan bahwa bumi kita semakin uzur, kita manusia tetap memikul tanggungjawab.  Maka tugas kita adalah menjaga dan memelihara keserasian lingkungan hidup. Hemat penulis, keserasian tersebut seyogyanya menjadi kerohanian: menjadi roh yang merasuki hati manusia dan dengan demikian memampukan manusia untuk mengakui Allah dalam dan melalui lingkungan hidupnya; tanah, air, hutan, gunung, lautan, angkasa dan mudah-mudahan seluruh jagatraya. Tulisan ini mengemuka sebagai suatu upaya menggagas perwujudan kesejatian hidup manusia dalam hubungan dengan harmoni lingkungan hidup.
Ekospiritualitas
Konsep ekospiritualitas  bukan hal yang baru. Sudah ada pemikiran dasar bahwa manusia merupakan jagat kecil (microcosmos) sedangkan alam lingkungan adalah jagat raya (macrocosmos). Dari postulat ini, sudah tentu manusia tak mungkin terceraikan dari alam lingkungannya; sebentuk hubungan yang pasti dan niscaya.
Ekospiritualitas bermula dari ketakjuban, yakni rasa (suasana hati)  heran dan kagum yang bersumber dari dalam diri ketika seseorang mendapat pengalaman atau kesadaran tentang “ada” atau realitas. Para ahli psikologi dan peneliti lainnya, di antaranya Paul Pearsall, sedang meneliti dimensi-dimensi ketakjuban, sebagai usaha untuk menggeser fokus kita dari psikopatologi, ke emosi yang lebih sehat, yang mencerminkan keterhubungan hakiki antara kita satu sama lain dan antara kita dengan lingkungan.
Dengan acuan pada bumi atau kosmos, ketakjuban terdapat dalam pengalaman kita menghadapi misteri kehidupan; perasaan “mencakupi segala sesuatu” - diri kita sendiri dan orang lain,  yang dalamnya tercakup pula realitas misteri. Jenis ketakjuban seperti ini, - atau pengalaman mengagumi - juga cenderung berisi suatu pengetahuan akan ketergantungan radikal pada basis misterius dari ‘ada’ yang memimpin pada kerendahan hati.
Kerendahan hati (humility)  - berakar-kata dari humus yang berarti tanah - mengajar kita tentang  tempat kita yang sesungguhnya dalam kosmos – suatu tempat yang serentak mahaluas namun juga tak begitu penting. Tambahan pula, ketakjuban atau kekaguman seringkali mengandung perasaan syukur dan terima kasih bahwa saya ada, bahwa bumi ada, bahwa dunia atau kosmos itu ada, bahwa segala sesuatu itu hadiah. Dari perasaan takjub ini, muncul suatu urgensi untuk hidup dalam terang hadiah bumi; untuk hidup dengan penuh kesadaran, daripada hanya melewati kehidupan sebagai orang buta, atau setengah sadar.
Tanpa rasa takjub, kagum, dan terilham oleh cinta terhadap bumi, kita tak mungkin mendapatkan pikiran, tubuh dan jiwa yang sehat. Tanpa rasa ini pula, tak akan ada usaha mencapai suatu integrasi yang sehat dan rendah hati antara diri kita di dalam komunitas bumi yang lebih luas.
Untuk suatu spiritualitas ekologis, kita mesti mengembangkan rasa ketakjuban ini yang dalam esensinya merupakan pendekatan mistik terhadap lingkungan hidup dan kehidupan itu sendiri. Kita perlu saling membantu dalam komunitas kita untuk mengalami dengan hati tentang misteri agung penciptaan dan kehidupan – mysterium traemendum et fascinans sebagaimana diajukan Rudolf Otto sebagai suatu definisi tentang realitas yang suci. Kata Thomas Berry, tugas agung abad ke-21 adalah belajar untuk hidup serasi dan selaras dengan bumi untuk menyelamatkannya - dan juga diri kita - dari kerusakan.
Salut Lingkungan
Penulis menafsir ekospiritualitas sebagai kerohanian salut lingkungan. Kita tidak saja ramah terhadap lingkungan tetapi menaruh respek dan hormat (salut) terhadap lingkungan hidup kita: suatu apresiasi yang terbarui terhadap penciptaan.
Kita semua, sebagian kita adalah warga kota, cenderung untuk lebih melihat melangkaui keindahan: misteri kehidupan yang terberi pada kita setiap hari. Sangat mudah bagi kita untuk terperangkap dalam suatu dunia yang didominasi oleh mesin-mesin dan artefak-artefak buatan manusia. Kita jarang meluangkan waktu untuk memuji dan bersyukur atas dunia  di dalamnya kita hidup dan ada – dan untuk kenyataan bahwa dunia dan diri kita senantiasa eksis. Keberadaan kita yang serba grasa-grusu berpengaruh buruk terhadap kesehatan. Kehidupan fisik, mental dan rohani kita menderita tatkala kita mengasingkan diri dari unsur-unsur ritmis bumi.
Seorang penulis, Richard Louv, berpendapat bahwa anak-anak zaman sekarang tidak cukup menghabiskan waktu mereka untuk menikmati keindahan di luar rumah. Anak-anak lebih sibuk dengan PS/Videogame daripada berkejaran dengan teman di alam bebas. Dia menghubungkan kekurangan ini dengan isu kegemukan anak-anak (childhood obesity), depresi dan kekurangan perhatian. Dia mengamati bahwa makna keajaiban hilang  tatkala anak-anak tidak berhubungan dengan dunia luar.
Para ahli psikologi juga mulai tertarik kepada faktor-faktor non-manusiawi yang memainkan peranan penting dalam pembentukan dan dan keberlangsungan pribadi manusia. Mereka meneliti faktor-faktor seperti: binatang, topografi dan iklim lingkungan fisik manusia, kepadatan penduduk dan citarasa waktu (sense of time) untuk mempelajari lebih lanjut tentang perkembangan kepribadian yang sehat. Mereka juga meneliti tentang peran-peran yang dimainkan faktor-faktor tersebut dalam berbagai bentuk kelainan jiwa (mental disorder). Hubungan antara musim dingin yang berlangsung lama di Eropa Utara, Alaska dan Siberia dengan adanya depresi dan alkoholisme pada penduduknya, telah terdokumentasi dengan baik.
Terapi berkiblat bumi, yang dianjurkan para psikolog, katakanlah terapi holtikultura, kadang digunakan untuk mengilhami rasa adanya pengharapan. Kita berusaha menanam benih atau anakan yang dapat, misalnya, menjadi bunga. Terapi holtikultura ini berguna untuk mengajar kita dan merekonsiliasi kita dengan siklus kehidupan – mengurangi kecenderungan kita untuk menolak kematian dan peranannya dalam perkembangan hidup kita.
Salut lingkungan berarti mengembangkan suatu amatan kontemplatif, untuk melihat lebih dalam ke dalam perwujudan biasa dari kehidupan yang melingkupi kita, dan untuk mengalami suatu rasa takjub. Betapa sering kita lebih tertarik dengan amatan sepintas terhadap lingkungan kita: mencari-cari tanda-tanda bahaya atau untuk sesuatu yang berguna untuk memenuhi kebutuhan kita.
Kita perlu memperlambat diri kita sebentar, untuk belajar melihat, atau, sebagaimana para penulis Kitab Suci mengajak kita, “Lihatlah!” dan dengan demikian kita melihat apa yang sesungguhnya ada di sekitar kita: tebaran mega di langit biru, hamparan rerumput hijau di padang datar, atau warna-warni bakung di halaman rumah.
Basis Ekospiritualitas
Terlepas dari kenyataan bahwa dalam beberapa ayat tertentu dalam Kitab Suci terdapat gambaran negatif tentang dunia, agama-agama berbasis biblis (Yahudi dan Kristen) memiliki potensi untuk mengambil tongkat kepemimpinan dalam isu lingkungan hidup. Kita dapat membaca Kitab Suci dengan kacamata ekologis, menemukan kerohanian dalam termin ekologis, dan menegaskan tentang kesempurnaan ciptaan (great blessing of Creation) daripada memusatkan diri pada kejatuhan Adam dan Hawa. Dengan cara pandang tersebut, akan terbentuk suatu situasi batin (built-in infrastructure) untuk mengembangkan kesadaran dan praksis “ramah- dan salut-lingkungan”.
Kita meminta Roh Kudus untuk memberi kita anugerah “Ketakjuban Suci” dan menumbuhkan dalam diri kita suatu rasa takjub. Dengannya,  kita bisa hidup dalam kebajikan cinta: cinta yang berbelaskasih, kerahiman (womb-love) Allah pada ciptaan. Dan ini semua akan mewujudnyata dalam perhatian terhadap bumi kita sebagaimana pula perhatian kita terhadap sesama.
Selain dari Kitab Suci, ada pula basis lain untuk ekospiritualitas. Kita dapat berpaling pada tokoh-tokoh seperti Fransiskus Asisi, Hildegard Bingen dan Hugo San Viktor sebagai model; mereka yang mengenal kebernilaian bumi dan mempraktekkan berbagai bentuk spiritualitas ekologis. Fransiskus Asisi dalam Gita Sang Surya misalnya, menyapa seluruh unsur kosmik dan seluruh penghuni jagat sebagai saudara. Berdasarkan rasa persaudaraan ini, kita mampu melihat bumi dan segala makhluk, termasuk diri kita, sebagai satu kebersamaan dalam komunitas kehidupan. Dan, kendatipun Fransiskus hidup di abad ke-12 menjelang abad ke-13, visinya tentang persaudaraan kosmik ini tetap bergema dan relevan dengan situasi kita. Para penulis zaman ini, misalnya Lary Rasmusen seorang tokoh etika, mengamati bahwa inti hasil penemuan ilmiah (scientific discovery) abad 21 adalah kenyataan bahwa alam raya adalah satu komunitas.
Peran Liturgi
Ada baiknya kita menaruh pula perhatian pada bagaimana tata ibadah kita sebagai orang beriman katolik dapat mengantar kita pada kesadaran akan kerohanian salut lingkungan. Dalam bentuk tradisional kita memiliki Ofisi Suci: terdapat Ibadat Pagi, Ibadat Malam. Penghidupan kembali praktek doa ini bagi umat (secara pribadi atau pun di tingkat paroki) sungguh dapat membantu untuk menyesuaikan diri kita dengan ritme suatu hari.
Kalender liturgi kita dahulu, juga menunjukkan adanya perhatian khusus akan hari-hari permohonan di musim-musim tertentu di mana terdapat doa untuk hujan dan tanaman. Kristianitas yang berkembang sekarang ini menunjukkan bahwa Gereja sudah mengadopsi tata cara lokal dalam praktek-praktek liturgi seperti pemberkatan kapal nelayan, pemberkatan kebun dan ladang dan juga pemberkatan ternak piaraan - yang berasal dari tradisi Fransiskan.
Mary Elizabeth Kenel, seorang ahli teologi spiritual, menegaskan bahwa: adalah tugas para agen pastoral untuk mengajari umat tentang kuasa mereka dalam memberkati dan memberanikan umat untuk mengatur “gaya” mereka sendiri dalam “memberkati” makanan, air dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam keseharian hidup: hujan, sinar mentari, pepohonan, bunga-bunga. Ini semua merupakan cara-cara unggul dalam menumbuhkan imajinasi dan apresiasi religius terhadap segala sesuatu yang boleh kita temui pada suatu hari. Menurut Kenel, memberanikan umat untuk melakukan hal ini, mampu mempertajam mata-kontemplatif umat, meningkatkan  apresiasi terhadap ciptaan dalam berbagai bentuknya, dan menuntun mereka terhadap suatu rasa akan kehadiran Allah (a sense of abiding presence of God).
Kesejatian Hidup
Hanya dengan mengapresiasi  bumi kita dalam segala keajaibannya, keindahan dan dan makna penuhnya kita dapat menegakkan suatu hubungan integral dengan dunia dan mempertahankan  kemakmuran kita, sembari terus menghargai bentuk-lain makhluk bumi. Kita dapat memiliki citarasa takjub (sense of wonder) dan citarasa suci (sense of sacred) hanya bila  kita menghargai semesta yang melangkaui diri kita sebagai suatu pengalaman pewahyuan dari kehadiran sang adikodrati yang darinya segala sesuatu berasal.
Harapan kita bersama, abad ini merupakan transisi besar-besaran dari  masa  perusakan lingkungan (bumi) menuju  masa di mana manusia hadir di bumi dalam suatu bentuk hubungan baik yang saling menguntungkan. ***

Sumber:
Mary Elizabeth Kenel, Ph. D, Cultivate Awe ... Harvest Justice, I & II, Dua makalah yang diseminarkan dalam suatu Simposium di Regis University, Denver, 16-17 Juni 2006, (online), (www.humandevelopmentmag.org) diakses 19 Februari 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar