Rabu, 06 Juni 2012

KONSEP KEMATIAN MENURUT MASYARAKAT DAWAN - INSANA – TTU.


 
                                          KONSEP KEMATIAN MENURUT MASYARAKAT
       DAWAN - INSANA – TTU.

Orang dawan (atoni meto) pada dasrnya tidak memiliki tradisi tertulis yang mengungkapkan secara jelas mengenai kematian. Namun dalam tradisi dapat ditemukan ungkapan yang mengandung etos tersebut. Ungkapan-ungkapan langsung dari masyarakat  “tua-tua adat” (usi mnasi) yang bertumpu pada dimensi perasaan manusia justru diberi  penghargaan khusus oleh Atoni dawan itu sendiri.
Konsep kematian menurut masyarakat insane , pada hakikatnua sama dengan pandangan dunia umumnya tentang kematian; yaitu beralihnya kehidupan seseorang kepada kehidupan yang lain atau berpulangnya seseorang kepada sang pencipta : “usi neno”. Bagi masyarakat insane, kematian dapat terjadi melalui dua cara yakni “meninggal secara wajar ” atau terjadi karena panggilan Tuhan encipta (Usi Neno Tan ‘ ngkoa’kit) dan meninggal secara tidak wajar; terjadi karena ulah manusia itu sendiri.
            Atoni dawan memiliki ungkapan-ungkapan yang beraneka ragam untuk dikenakan pada pada orang yang meninggal. Dengan system kepaecaayan terhadap adat-istiadat yang kuat, atoni dawan mempunyai satu keyakinan bahwa kematian seseorang bukan hanya merupakan “cara Allah” memanggil. Melampaui pandangan tersebut, kematian seseorang sering kali dihubungkan dengan cara hidup orang tersebut dalam kaitannya dengan adat-istiadat, alam, maupun sesema manusia sebagai penyebab kematian. Bahkan tak jarang ada orang yang meklaim bahwa kematian itu disebabkan oleh sesama manusia itu sendiri. Anggapan ini lalu dikenal dengan satu istilah “alaut” (suanggi). Anggapan tersebut hingga sekarang masih diterima suatu kebenaran dalam kelompok masyarakat  tertentu (insana).

3.1 Bentuk-Bentuk Kematian
Secara umum “atone dawan” mengenal dua benyuk atau pols kematian yakni kematian secara wajar atau normal dan kematian secara tidak wajar akibat kecelakaan (maet lal bes).

3.1.1 Kematian Secara Wajar
            Mati secara wajar (maet nek aomina) mrupaka suatu keyakinan bahwa orang yang meninggal itu terbebaskan dari segala dosa dan ikatan dunia. Juga merupakan pulangnya seseorang kepada Sang  Pencipta “Usi Neno” dan yang dipanggil oleh Sang Pencipta sendiri. Bentuk atau cara kematian seperti ini, kebanyakan dialamatkan kepad amereka yang sudah mencapai usia lanjut.
Lazimnya jenazah tersebut disemayamkan di dalam rumah duka. Jenazah akan dikebumikan jika semua keluarga yang berhubungan langsung seprti ayah, ibu, kakak, adik, dalam hal ini keluarga kandung telah berada di rimah duka. Apabila yang meninggal adalah seorang tokoh masyarakat, tokoh adat, raja (orang yang berpengaruh) biasanya lima atau enam hari lamanya baru dikebumikan tetapi selain itu (rakyat biasa) tiga atau dua hari sudah dikuburkan. Tempat pemakaman biasanya di tempat umum atau bisa juga di halaman rumah duka tersebut.
Proses pemakaman dimulai dari rumah duka dengan prosesnya sebagai berikut : jenazah dikeluarkan dari dalam rumah duka dan ditempatkan di depan rumah duka dekat pintu masuk, dalam keadaan peti jenazah masih terbuka. Lalu ada “natoni” sedikit dari salah satu orang tua adat dalam hal ini anak laki-laki sulung “atoni amaf” sebagai tanda perpisahan. Sesudah itu penghormatan terakhir dari keluarga baru peti jenazah ditutup dan di bagian kepala peti jenaah ditancapkan sebuah bendera warna putih. Dengan demikian atoni amaf tersebut kan menari-nari mengelilingi peti jenazah sebanyak tiga kali. Dan pada kali terakhir bendera putih tersebut diambil atau dicabut dan dibawa masuk ke dalam rumah. Hal ini dilakukan sebagai symbol diterimanya warisan keluarga oleh atoni amaf. Sekembalinya dari dalam rumah maka atoni amaf akan dipersilahkan untuk memecahkan sebuah tempurung kelapa yang telah disiapkan yang mana di bawahnya telah diletakkan sejumlah uang  (pemecahan tempurung kelapa ini sebagai symbol atau lambing kerelaan keluarga melepaspergikan jenazah kepada Sang Pencipta “Usi neno”). Uang yang berada di bawah pempurung tersebut akan diambil dan disimpan di dalam “aluk” (tempat sirih pinang). Aluk tersebut akan dijinjing oleh atoni amaf dan dia yang akan berjalan di depan sebagai penunjuk jalan bagi rombongan duka menuju tempat pemakaman. Dala perjalanan menuju tempat pemakaman “atoni amaf” tidak akan berbicara dan menoleh ke belakang. (konon dipercaya bahwa ia sedang berjalan bersama jiwa jenazah). Setibanya di tempat pemakaman jenazah langsung dikuburkan disertai dengan ucapan selamat jalan sekali lagi oleh keluarga. Ada juga kepercayaan bahwa saat penguburan, orang dapat menitipkan pemberian kepada saudara-saudari (para leluhur) yang telah lama meninggal. Melalui jenazah yang baru dimakamkan ini mereka meitipkan barang-barang tersebut berupa kain, baju, benda-benda kesukaan sewaktu hidupnya,dan lain-lain.
Praktek ini mencermikan keada kita bahwa keyakinan masyarakat dawan (atoni dawan insane) mengenai adanya kehidupan sesudah kematian. Pada waktu seseorang meninggal dunia jiwanya akan segera berangkat ke dunia para leluhur setelah keluarga yang ditinggalkan melepaskan kepergiaannya melalui ritus kematian. Bila dalam proses penguburan, terdapat hal yang tidak diinginkan atau tidak sesuai dengan keinginan arwah tersebut, maka ia kan dengan caranya sendiri menyampaikan kepada kita, seperti jiwanya merasaki salah seorang hadir dalam upacara pemakaman. Hal ini biasanya disebut “nitu sae”. Dengan demikian keinginan sang arwah akan terealisir.

3.1.2 Kematian Secara Tidak Wajar Akibat Kecelakaan “Maet Lal Bes”
            Secara harafiah ungkapan “maet lal bes” diartikan sebagai kematian yang diakibatkan olah manusia itu sendiri yakni kecelakaan. Ungkapan ini bebrbeda dengan ungkapan dengan “maet nek aomina ”. Ungkapan maet lal bes dikenal dengan beberapa istilah antara lain
  Ø  Meninggal akibat kecelakaan lalu lintas
  Ø  Meninggal akibat jatuh dari pohon
  Ø  Meninggal karena ditanduk kerbau
  Ø  Meninggal karena disambar petir
  Ø  Meninggal karena dibunu, dan lain-lain.
Bagi masyarakat dawan insana, orang yang meninggal secara tidak wajar seperti yang telah tertera di atas, jenazahnya tidak boleh dibaringkan di dalam rumah tetapi di luar baik itu di lopo atau dibuatkan tenda. Lalu acara pemakamannya sama seperti biasa. Hanya pada saat kendurinya yang disebut dengan acara “oet asu”. Bagi orang yang meninggal secara tidak wajar, tempat penguburannta terpisah dari pekuburan umum (kira-kira 100 m dari pekuburan umum).

 3.2 Pembebasan Jiwa Bagi Orang Meninggal Secara Tidak Wajar
Atoni dawan-insana mempunyai cara-cara khusus untuk melepaskan jiwa orag yang meninggal secara tidak wajar “maet lal bes”. Secara umum salah satu cara yang digunakan yakni potong anjing “oet asu”. Acara demikina diyakini oleh masyarakat dawan insane bahwa dengan upacara kenduri ini “oet asu” maka jiwa arwah tersebut akan memperolah ketenangan. Tidak semua orang melakukan oet asu. Acara oet asu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang khusus dalam rrumah adat tertentu, yang disebut dengan “meo-meo”. Alat yang digunakan untuk melakukan oet asu adalah kelewang dari rumah adatnya masing-masing bukan kelewang (suni) sembarangan.
Untuk masyarakat dawan insana-Susulaku terdiri dari masing-masing suku dengan meo-nya. Seperti: 
Ø  Suku Amasanan meo-nya sanan koni
Ø  Suku Taboy meo-nya tifnaik
Ø  Suku Tuames meo-nya tnu’fai leu
Ø  Suku haumen meo-nya tamnais papa teme
Dari keempat suku di atas dengan meo-nya masing-masing apabila si korban atau orang yang “maet lal bes” dari satu suku maka meo yang diundang adalah pilih salah satu meo di antara suku lainnya untuk melakukan oet asu.
Acara kendurinya sebagai berikut: meonya datang tidak masuk di dalam kampong hanya bertemu saja di tempat yang telah ditentukan (polen kubi). Di tempat tersebut dari pihak korban sudah menyiapkan seekor anjing yang telah diikat dengan tali atau “nake”. Selanjutnya di persimpanagan jalan bofon itu dipalang atau melintasi jalan tersebut. Lalu seorang tua adat yang doipercayakan dari pihak keluarga korban akan memanggil nama si arwah tersebut sedangkan kita peserta lainnya yang hadir pada tenang untuk sama-sama mendengan suara dari burung-burung tertentu (kot-kotos dan finik liu). Seandainya salah satu di antara kedua burung tersebut berkicau lansung anjingnya dipotong oleh meo yang bersangkutan. Pada saat yang sama juga tak’ leun atau ok le’un yakni sebuah tenasak atau bakul yang telah disiapkan langsung dibuang dengan mengatakan “om mait ho sisi ma ho maka he mua, on tahat bait ma tinut bait; kalau ho es hauba biana ma fatu biana om mua hoba nai he nait kaisa m’ totem ten he mua ma he miun”. Acara ini merupakan acara kenduri atau “afta nitu maet lal bes”.
Catatan: leher anjing itu harus putus. Jikalau tidak putus maka acara tersebut harus diselidiki ulang entah hambatan pada pihak si korban atau dari pihak meo yang diundang tidak tepat atau tidak cocok. Maka untuk memperbaikinya, diambil sesekor ayam hitam atau merah untuk dibunuh dan melihat “kilo-nya pada tali perut ayam atau hati ayam”. Juga meo yang diundang, diberikan seekor babi dengan uang sebanyak Rp.250.000,- dan sepuluh kilogram beras serta lima botol sopi. Semuanya ini meo membawanya pulang ke rumah lalu bersama rombongan membunuh babi tersebut dan diolah lalu makan bersama di luar rumah dan bukan di dalam rumah

Sumber kepustakaan
Andreas Tefa Sawu, Di Bawah Naungan Gunung Mutis, Ende: Nusa Indah, 2004 .
Aleksander Usfinit, Maubes-Insana, Jogjakarta: Kanisius, 2003.
Informan : Bapak Markus Meni (77 tahun), Tua Adat suku Haumen
                  Ignatius Sau (58 tahun), Tua Adat Amasanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar