DAWAN
- INSANA – TTU.
Orang
dawan (atoni meto) pada dasrnya tidak memiliki tradisi tertulis yang
mengungkapkan secara jelas mengenai kematian. Namun dalam tradisi dapat
ditemukan ungkapan yang mengandung etos tersebut. Ungkapan-ungkapan langsung
dari masyarakat “tua-tua adat” (usi
mnasi) yang bertumpu pada dimensi perasaan manusia justru diberi penghargaan khusus oleh Atoni dawan itu sendiri.
Konsep
kematian menurut masyarakat insane , pada hakikatnua sama dengan pandangan
dunia umumnya tentang kematian; yaitu beralihnya kehidupan seseorang kepada
kehidupan yang lain atau berpulangnya seseorang kepada sang pencipta : “usi
neno”. Bagi masyarakat insane, kematian dapat terjadi melalui dua cara yakni
“meninggal secara wajar ” atau
terjadi karena panggilan Tuhan encipta (Usi Neno Tan ‘ ngkoa’kit) dan meninggal
secara tidak wajar; terjadi karena ulah manusia itu sendiri.
Atoni dawan memiliki ungkapan-ungkapan yang beraneka
ragam untuk dikenakan pada pada orang yang meninggal. Dengan system kepaecaayan
terhadap adat-istiadat yang kuat, atoni dawan mempunyai satu keyakinan bahwa
kematian seseorang bukan hanya merupakan “cara Allah” memanggil. Melampaui
pandangan tersebut, kematian seseorang sering kali dihubungkan dengan cara
hidup orang tersebut dalam kaitannya dengan adat-istiadat, alam, maupun sesema
manusia sebagai penyebab kematian. Bahkan tak jarang ada orang yang meklaim
bahwa kematian itu disebabkan oleh sesama manusia itu sendiri. Anggapan ini lalu
dikenal dengan satu istilah “alaut” (suanggi). Anggapan tersebut hingga
sekarang masih diterima suatu kebenaran dalam kelompok masyarakat tertentu (insana).
3.1 Bentuk-Bentuk Kematian
Secara
umum “atone dawan” mengenal dua benyuk atau pols kematian yakni kematian secara
wajar atau normal dan kematian secara tidak wajar akibat kecelakaan (maet lal bes).
3.1.1 Kematian Secara Wajar
Mati secara
wajar (maet nek aomina) mrupaka suatu keyakinan bahwa orang yang meninggal itu
terbebaskan dari segala dosa dan ikatan dunia. Juga merupakan pulangnya
seseorang kepada Sang Pencipta “Usi
Neno” dan yang dipanggil oleh Sang Pencipta sendiri. Bentuk atau cara kematian
seperti ini, kebanyakan dialamatkan kepad amereka yang sudah mencapai usia
lanjut.
Lazimnya
jenazah tersebut disemayamkan di dalam rumah duka. Jenazah akan dikebumikan
jika semua keluarga yang berhubungan langsung seprti ayah, ibu, kakak, adik,
dalam hal ini keluarga kandung telah berada di rimah duka. Apabila yang
meninggal adalah seorang tokoh masyarakat, tokoh adat, raja (orang yang
berpengaruh) biasanya lima atau enam hari lamanya baru dikebumikan tetapi
selain itu (rakyat biasa) tiga atau dua hari sudah dikuburkan. Tempat pemakaman
biasanya di tempat umum atau bisa juga di halaman rumah duka tersebut.
Proses
pemakaman dimulai dari rumah duka dengan prosesnya sebagai berikut : jenazah
dikeluarkan dari dalam rumah duka dan ditempatkan di depan rumah duka dekat
pintu masuk, dalam keadaan peti jenazah masih terbuka. Lalu ada “natoni”
sedikit dari salah satu orang tua adat dalam hal ini anak laki-laki sulung
“atoni amaf” sebagai tanda perpisahan. Sesudah itu penghormatan terakhir dari
keluarga baru peti jenazah ditutup dan di bagian kepala peti jenaah ditancapkan
sebuah bendera warna putih. Dengan demikian atoni amaf tersebut kan menari-nari
mengelilingi peti jenazah sebanyak tiga kali. Dan pada kali terakhir bendera
putih tersebut diambil atau dicabut dan dibawa masuk ke dalam rumah. Hal ini
dilakukan sebagai symbol diterimanya warisan keluarga oleh atoni amaf. Sekembalinya dari dalam rumah maka atoni amaf akan
dipersilahkan untuk memecahkan sebuah tempurung kelapa yang telah disiapkan
yang mana di bawahnya telah diletakkan sejumlah uang (pemecahan tempurung kelapa ini sebagai
symbol atau lambing kerelaan keluarga melepaspergikan jenazah kepada Sang
Pencipta “Usi neno”). Uang yang berada di bawah pempurung tersebut akan diambil
dan disimpan di dalam “aluk” (tempat sirih pinang). Aluk tersebut akan
dijinjing oleh atoni amaf dan dia yang akan berjalan di depan sebagai penunjuk
jalan bagi rombongan duka menuju tempat pemakaman. Dala perjalanan menuju
tempat pemakaman “atoni amaf” tidak akan berbicara dan menoleh ke belakang.
(konon dipercaya bahwa ia sedang berjalan bersama jiwa jenazah). Setibanya di
tempat pemakaman jenazah langsung dikuburkan disertai dengan ucapan selamat
jalan sekali lagi oleh keluarga. Ada juga kepercayaan bahwa saat penguburan,
orang dapat menitipkan pemberian kepada saudara-saudari (para leluhur) yang
telah lama meninggal. Melalui jenazah yang baru dimakamkan ini mereka meitipkan
barang-barang tersebut berupa kain, baju, benda-benda kesukaan sewaktu
hidupnya,dan lain-lain.
Praktek
ini mencermikan keada kita bahwa keyakinan masyarakat dawan (atoni dawan
insane) mengenai adanya kehidupan sesudah kematian. Pada waktu seseorang
meninggal dunia jiwanya akan segera berangkat ke dunia para leluhur setelah
keluarga yang ditinggalkan melepaskan kepergiaannya melalui ritus kematian.
Bila dalam proses penguburan, terdapat hal yang tidak diinginkan atau tidak
sesuai dengan keinginan arwah tersebut, maka ia kan dengan caranya sendiri
menyampaikan kepada kita, seperti jiwanya merasaki salah seorang hadir dalam
upacara pemakaman. Hal ini biasanya disebut “nitu sae”. Dengan demikian
keinginan sang arwah akan terealisir.
3.1.2 Kematian Secara Tidak Wajar Akibat Kecelakaan “Maet Lal Bes”
Secara harafiah
ungkapan “maet lal bes” diartikan sebagai kematian yang diakibatkan olah
manusia itu sendiri yakni kecelakaan. Ungkapan ini bebrbeda dengan ungkapan
dengan “maet nek aomina ”. Ungkapan maet lal bes dikenal dengan beberapa
istilah antara lain
Ø Meninggal
akibat kecelakaan lalu lintas
Ø Meninggal
akibat jatuh dari pohon
Ø Meninggal
karena ditanduk kerbau
Ø Meninggal
karena disambar petir
Ø Meninggal
karena dibunu, dan lain-lain.
Bagi masyarakat dawan
insana, orang yang meninggal secara tidak wajar seperti yang telah tertera di
atas, jenazahnya tidak boleh dibaringkan di dalam rumah tetapi di luar baik itu
di lopo atau dibuatkan tenda. Lalu acara pemakamannya sama seperti biasa. Hanya
pada saat kendurinya yang disebut dengan acara “oet asu”. Bagi orang yang meninggal secara tidak wajar, tempat
penguburannta terpisah dari pekuburan umum (kira-kira 100 m dari pekuburan
umum).
3.2 Pembebasan Jiwa Bagi Orang Meninggal Secara Tidak Wajar
Atoni dawan-insana
mempunyai cara-cara khusus untuk melepaskan jiwa orag yang meninggal secara
tidak wajar “maet lal bes”. Secara umum salah satu cara yang digunakan yakni potong anjing “oet asu”. Acara demikina
diyakini oleh masyarakat dawan insane bahwa dengan upacara kenduri ini “oet
asu” maka jiwa arwah tersebut akan memperolah ketenangan. Tidak semua orang
melakukan oet asu. Acara oet asu hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang khusus dalam rrumah adat tertentu, yang disebut dengan “meo-meo”. Alat yang digunakan untuk
melakukan oet asu adalah kelewang
dari rumah adatnya masing-masing bukan kelewang (suni) sembarangan.
Untuk masyarakat dawan
insana-Susulaku terdiri dari masing-masing suku dengan meo-nya. Seperti:
Ø Suku
Amasanan meo-nya sanan koni
Ø Suku
Taboy meo-nya tifnaik
Ø Suku
Tuames meo-nya tnu’fai leu
Ø Suku
haumen meo-nya tamnais papa teme
Dari
keempat suku di atas dengan meo-nya masing-masing apabila si korban atau orang
yang “maet lal bes” dari satu suku maka meo yang diundang adalah pilih salah
satu meo di antara suku lainnya untuk melakukan oet asu.
Acara
kendurinya sebagai berikut: meonya datang tidak masuk di dalam kampong hanya
bertemu saja di tempat yang telah ditentukan (polen kubi). Di tempat tersebut dari pihak korban sudah menyiapkan
seekor anjing yang telah diikat dengan tali atau “nake”. Selanjutnya di
persimpanagan jalan bofon itu dipalang atau melintasi jalan tersebut. Lalu
seorang tua adat yang doipercayakan dari pihak keluarga korban akan memanggil
nama si arwah tersebut sedangkan kita peserta lainnya yang hadir pada tenang
untuk sama-sama mendengan suara dari burung-burung tertentu (kot-kotos dan
finik liu). Seandainya salah satu di antara kedua burung tersebut berkicau
lansung anjingnya dipotong oleh meo yang bersangkutan. Pada saat yang sama juga
tak’ leun atau ok le’un yakni sebuah tenasak atau bakul yang telah disiapkan
langsung dibuang dengan mengatakan “om mait ho sisi ma ho maka he mua, on tahat
bait ma tinut bait; kalau ho es hauba biana ma fatu biana om mua hoba nai he
nait kaisa m’ totem ten he mua ma he miun”. Acara ini merupakan acara kenduri
atau “afta nitu maet lal bes”.
Catatan:
leher anjing itu harus putus. Jikalau tidak putus maka acara tersebut harus
diselidiki ulang entah hambatan pada pihak si korban atau dari pihak meo yang
diundang tidak tepat atau tidak cocok. Maka untuk memperbaikinya, diambil
sesekor ayam hitam atau merah untuk dibunuh dan melihat “kilo-nya pada tali
perut ayam atau hati ayam”. Juga meo yang diundang, diberikan seekor babi
dengan uang sebanyak Rp.250.000,- dan sepuluh kilogram beras serta lima botol
sopi. Semuanya ini meo membawanya pulang ke rumah lalu bersama rombongan
membunuh babi tersebut dan diolah lalu makan bersama di luar rumah dan bukan di
dalam rumah
Sumber
kepustakaan
Andreas Tefa Sawu, Di Bawah Naungan Gunung Mutis, Ende: Nusa Indah, 2004 .
Aleksander Usfinit, Maubes-Insana, Jogjakarta: Kanisius, 2003.
Informan : Bapak Markus Meni (77 tahun), Tua Adat
suku Haumen
Ignatius Sau (58 tahun), Tua Adat
Amasanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar