Rabu, 06 Juni 2012

“NASIONALISME SEBAGAI JIWA BERBANGSA DAN BERNEGARA PERSPEKTIF SOEKARNO”


“NASIONALISME SEBAGAI JIWA BERBANGSA DAN BERNEGARA PERSPEKTIF SOEKARNO”

Suatu bangsa akan langgeng kedaulatannya apabila didasarkan pada persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan merupakan ciri pengikat yang melebur perbedaan dan menyatukan persepsi serta cita-cita universal. Persatuan dan kesatuan pada prinsipnya mengandaikan adanya pluralitas. Demikian pula bangsa Indonesia. Kehidupan berbangsa hendaknya didasarkan pada persatuan dan kesatuan. Soekarno melihat ini sebagai hal yang penting. Mengapa demikian? Karena bangsa Indonesia terdiri dari sekian ribu pulau, dengan berbagai etnik dan kultur yang hidup di atasnya.

Sebagai suatu bangsa, Indonesia tentu mengalami nasib yang sama dengan bangsa-bangsa lainnya yakni sebagai bangsa terjajah. Zaman penjajahan yang kurang lebih tiga setengah abad ini, telah menciptakan keadaan dimana hak-hak dasar manusia acapkali dipermainkan, kemanusiaan orang Indonesia diinjak-injak, ditekan dan tidak bisa berkembang semestinya. Keadaan ini menciptakan mental bangsa menjadi “kerdil” dan hidup yang menyedihkan. Namun, sebagai suatu bangsa, diperlukan juga upaya untuk membebaskan diri dari keadaan tersebut.

Dalam catatan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, untuk mempertahankan kemerdekaan, telah mengalami pasang surut. Bangsa Indonesia masuk dalam alam penjajahan, yaitu mulai abad ke 17. Dengan dimulainya system monopoli perdagangan rempah-rempah oleh bangsa Belanda, melalui Kongsi Perdagangan Belanda di Hindia Timur atau disebut Verenidge Oost Indische Compagnie (VOC) yang berdiri tahun 1602, maka sejak itulah bangsa Indonesia mulai masuk dalam zaman penjajahan. Untuk membebaskan diri dari cengkeraman penjajah ternyata sangat sulit. Perjuangan yang hanya mengandalakan kekuatan bersenjata tradisional, ternyata tidak mampu mengusir penjajah dari bumi tanah air Indonesia. Perjuangan semacam itu dilakukan oleh bangsa Indonesia sejak melawan VOC sampai awal abad ke-20, yaitu melawan pemerintah Hindia Belanda. Bangsa Indonesia selalu mengalami kekalahan.[1]

Adanya kekalahan tersebut disebabkan oleh pelbagai masalah antara laian, belum adanya persatuan dan kesatuan; perjuangan masih bersifat kedaerahan; tujuannya masih berkisar wilayah kekuasaan raja atau penguasa setempat (nasional sempit); belum ada organisasi perjuangan yang bersifat nasional; masih mengandalakan kekuatan fisik (senjata).

Sadar akan kekalahan yang terjadi terus menerus, maka bangsa Indonesia mulai mengubah taktik perjuangannya. Bila pada mulanya mengandalkan kekuatan otot (senjata), kemudian berubah menggunakan kekuatan otak (pikiran). Ciri perjuangan bangsa Indonesia sesudah awal abad ke-20, ditandai dengan adanya persatuan dan kesatuan bangsa; perjuangannya sudah bersifat nasional, dan tujuannya untuk mencapai kemerdekaan yang nantinya ingin mendirikan suatu negara merdeka yang kekuasaannya di tangan rakyat; sudah ada organisasi modern dan bersifat nasional; mengandalkan kekuatan otak (pikiran), di mana pendidikan sangat berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.[2]
 Pada posisi ini, Soekarno melihat bahwa satu-satunya senjata yang ajaib ialah persatuan secara luas yakni nasionalisme. Hal mana yang menurut Soekarno dapat menghantar bangsa Indonesia kepada kemerdekaan, baik de facto maupun dejure. Lebih jauh, menurut Soekarno, kemerdekaan tidak hanya sampai pada tahap ini, melainkan kemerdekaan harus sampai pada memberikan kebebasan kepada manusia Indonesia untuk dapat mengekspresikan diri secara baik. Aneka aspek kehidupan manusia perlu dimerdekakan, termasuk aspek kemanusiaan.

Denyut pergerakan dan perjuangan demi pencapaian semangat nasionalisme, langsung bersenyawa pada jiwa Soekarno muda.  Perjuangan ini, dikemudian hari menjadi titik balik dari seluruh impian Soekarno, dari hanya bercita-cita menjadi segelintir golongan terpelajar Bumiputera yang memperoleh pendidikan tinggi kolonial, sampai menjadi kenyataan. Pada  arena ini, ia mempunyai peluang tak terbatas menjadi “Priyayi Besar” selanjutnya bermetamorfosa menjadi pemimpin garis depan perjuangan bangsanya dengan segenap risiko yang mesti dihadapinya.[3]

Dalam upaya inilah, nasionalisme, yang menurut Soekarno sebagai senjata ampuh perlu diutamakan, walau kendala yang akan dihadapi. Soekarno menjadi sadar bahwa suatu gagasan atau ide baru akan selalu ditolak oleh masa, oleh mereka yang berkuasa, dan merasa nyaman dengan kedudukan mereka. Hal ini tereksplisit dalam pernyataannya bahwa:

“Belum pernah di sejarah dunia ada tertulis, bahwa sesuatu reform movement tidak mendapat perlawanan dari kaum yang djumud, belum pernah sejarah dunia ini menjelaskan bahwa suatu pergerakan yang mau membongkar adat-adat salah, dan ideologi-idiologi salah yang telah berwindu-windu dan berabad-abad bersulur dan berakar pada suatu rakyat, tidak membangunkan reaksi hebat dari pihak jumud yang membela adat-adat, idiologi-idiologi itu”.[4]

Demi suatu kepentingan universal, dan kebaikan bersama, Soekarno tidak pernah menyerah, bahkan sebesar apapun risiko yang akan ia hadapi. Semuanya demi membangunkan kembali kesadaran bangsa ini yang sedang “tertidur”.

Kemerdekaan semata-mata hanya dapat tercapai lewat perjuangan yang yang terus-menerus. Ia sungguh percaya bahwa kemerdekaan semata-mata bukan hadiah dari orang lain. Kemerdekaan telah ada di dalam diri bangsa Indonesia. Yang dituntut dari kita ialah bagaimana memperjuangkan kemerdekaan itu. Dalam hubungan dengan hal ini, Soekarno mengatakan bahwa:

“Nasib kita ada di dalam genggaman kita sendiri…dengan lebih teguh kita harus percaya akan kepandaian dan tenaga kita sendiri…dengan menolak tiap-tiap politik oppurtunisme dan tiap-tiap politik possibilisme, yakni tiap-tiap politik yang menghitung-hitung: ini tidak bisa dan itu tidak bisa”.
Pemikiran Soekarno ini dilatarbelakangi oleh pikiran Mahatma Gandhi bahwa:

“ Siapa mau mencari mutiara, haruslah berani selam ke dalam laut yang sedalam-dalamnya; siapa yang dengan kecil hati berdiri di pinggir saja dan takut akan terjun ke dalam air, ia tak  akan mendapat sesuatu apa”.[5] “…dengan lebih teguh keyakinan kita, bahwa nasib kita ada di dalam genggaman kita sendiri”.[6]

Ada keyakinan dalam diri soekarno bahwa nasib bangsa ini hanya dapat ditentukan oleh diri kitra sendiri. Tidak ada orang lain, tidak ada kekuatan lain di luar diri yang akan menentukan nasib kita. Soekarno menyadari sepenuhnya bahwa ia bukan pemikir. Ia hanyalah seorang pelaku kehidupan. Maka ia berusaha untuk menjelaskan keyakinannya bahwa: “…Dengan lebih teguh keinsyafan kita, …kita harus percaya akan kepandaian dan tenaga kita sendiri…”.[7]

Maksud dari perkataan Soekarno tersebut ialah agar menyadari potensi dan kemampuan diri. Namun demikian, apabila hanya menyadari potensi atau apa yang disebut “kepandaian”,  menurut Soekarno itu belum cukup. Itu tidak cukup. Untuk itu, lebih diperlukan lagi semangat untuk menciptakan persatuan dan kesatuan. Ini sangat penting. Hanya dengan semangat persatuan, kita dapat memperjuangkan kemerdekaan dan mencapai kebebasan.

Soekarno menyadari betul perjuangannya untuk kemerdekaan dan kebebasan. Pejuangannya untuk memperoleh kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, bukan semata-mata hanya demi membebaskan diri  dari penjajah. Tetapi kemerdekaan, semata-mata demi kebebasan “untuk” pengembangan diri setiap warga bangsa Indonesia, sesuai dengan kemampuan dan potensi diri setiap individu.[8]

Atas dasar ini, Soekarno mengajarkan agar orang tidak hanya sebatas menyadari segala potensi diri, melainkan lebih dari itu, perlu percaya akan kepandaian dan tenaga sendiri yang didasari dengan keyakinan diri. Hanya dengan mengetahui potensi diri dan kemampuan diri saja, tentu itu belum atau tidak cukup. Tetapi perlu ada keyakinan. Keyakinan menolong orang dalam mengambil sikap. Orang tidak akan bertindak. Orang hanya akan mengagung-agungkan kepandaian dan tenaga sendiri dan itu tidak akan menemui hasil. Sebaliknya menurut Soekarno, orang yang meyakini potensi dirinya, orang  yang mempercayayi kemampuan dirinya, akan selalu siap menghadapi kehidupan. Ia siap mengahadapi setiap tantangan. Dan orang seperti inilah yang dinamakan sebagai “Manusia Sejati”.

Ketika ada kepercayaan di dalam diri setiap pribadi bangsa Indonesia, hal itu akan mendorong orang untuk bangkit, menyatukan kekuatan dan bertindak melawan penjajah serta berjuang demi kemerdekaan. Senjata ampuh yang digunakan tidak lain ialah semangat “nasionalisme”. Nasionalisme hendaknya dijadikan sebagai jiwa  yang menggerakan semua orang untuk bersatu. Hanya denngan nasionalisme, semua kekuatan dapat disatukan dan dengannya dapat melawan penjajah.


            Untuk  membangkitkan semangat nasionalisme ini, menurut Soekarno ada tiga hal:

Pertama, perlu menunjukan kepada rakyat, bahwa ia punya hari dulu adalah hari dulu yang indah.  Kedua, perlu menambahkan keinsyafan rakyat, bahwa ia punya hari sekarang, adalah hari sekarang yang gelap. Dan ketiga, harus memperlihatkan kepada rakyat sinarnya hari kemudian yang berseri-seri dan terang cuaca, beserta cara-caranya mendatangkan hari kemudian yang penuh dengan janji-janji itu.[9]
Semangat nasionalisme yang dimaksud oleh Soekarno perlu dilihat tidak sebagai sarana (alat), melainkan sebagai jiwa atau roh yang memberikan kehidupan. Maka tanpa nasionalisme, bangsa Indonesia akan mengalami nasib sebagai bangsa yang “mati”. Nasionalisme menjadi jiwa yang memberikan kepada bangsa Indonesia semangat untuk bersatu, meruntuhkan sekat-sekat pemisah. Nasionalisme menjadi jiwa yang memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, baik kemerdekaan dari penjajah, maupun kebebasan demi mengekspresikan diri. Oleh jiwa nasionalisme ini, perjuangan demi persatuan, kemerdekaan, kemanusiaan serta kekuasaan, tidak saja pada waktu pra kemerdekaan, melaikan sampai pada tahap pasca kemerdekaan. Dan oleh sebab jiwa nasionalisme ini, upaya perjuangan tidak hanya bertujuan untuk melawan penjajah, melainkan juga perjuangan terhadap bangsa sendiri. Dan inilah nasionalisme pasca kemerdekaan.


                [1]Drs. Sudiyo, Pergerakan Nasional; Mencapai dan Mempertahankan Kemerdekaan, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hlm. 3.
                [2] Ibid., hal. 4.
[3] Soekarno, Indonesia Menggugat, dalam Suwidi Tono (editor),  Mahakarya Soekarno-Hatta, Jakarta: PT. Perspektif Media Komunikasi (Vision03), 2008, hlm. 3.
[4] Anand Krishna, Bersama Bung Karno Menggapai Jiwa Merdeka, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999, hlm.95-96.
[5] Ir. Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid I, Cet. IV-1965, hlm. 97.
[6] Soekarno, dalam Anand Khrisna, Op. Cit., hlm. 70.
[7] Soekarno, Ibid., hlm. 74.
[8] Anand Khrisna, Op. Cit., hlm. 74-75.
[9] Soekarno, dalam Suwidi Tono, Op. Cit., hlm. 54.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar